19 Juni 2008

Menanti Toga di Kepala

Hari ini, aktivitasku berada di kampus. Sejak sore aku sudah berada di kampus Universitas Prof. Dr. Moestopo (Bersenggama) eh.. (Beragama), yang berada di bilangan Senayan, Jakarta Selatan.

Rencana awal sih mau bertemu dengan (mantan) dosen pembimbing. Loh, kok mantan dosen pembimbing? Aduh, di bawah saja nanti dijelaskan, he..he..

Namun, setibanya di kampus entah kenapa aku mendadak diserang 'sakit' malas. Ah, lagipula kulihat orangnya tidak berada di ruang dosen. Setahuku juga hari ini ia tak ada jadwal mengajar.

Di ruang dosen, aku hanya bertemu dengan Pak Indiwan, koordinator bidang studi jurnalistik. "Loh, bukannya loe udah lulus? Gue pikir loe udah lulus," ujarnya saat melihatku. Aku pun hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya itu tanpa perlu kembali kujawab karena ia sendiri sebenarnya tahu kalau skripsiku belum selesai.

Oh ya, (mantan) dosen pembimbingku adalah Dr. Heri Hermawan. Dia merupakan satu dari dua dosen pembimbing dan penguji yang dianggap 'killer' oleh mahasiswa, selain Dr. Gati Gayatri. Selain, setiap skripsi yang dibimbingnya harus "sempurna" hingga akhirnya banyak mahasiswa "angkat tangan", mereka berdua ini terkenal "kejam" ketika menguji.

Lalu, kenapa aku sematkan kata 'mantan'? Nah, itu karena minggu lalu ketika bertemu di ruang sekretariat dia bilang, "Saya sudah tidak pegang bimbingan lagi. Semua sudah saya serahkan ke Pak Kusnul (Kepala Jurusan)," ujarnya yang sedang mengkopi sebuah artikel di internet.

Saat ditanya apa alasannya, "Saya capek," jawabnya singkat.

Waduh, capek? Ya, meski demikian aku tidak mau ambil pusing untuk berburuk sangka dengan alasan yang ia berikan. Pasti ada alasan lain yang tidak mau ia katakan dan aku yakin itu, bila mengingat "sepak terjangnya" di dunia persilatan, he..he.. Maksudku, kemampuannya membuat mahasiswa "angkat tangan."

Lagian, ya sudah toh aku pun memang sudah berniat mengganti pembimbing, he..he.. Pucuk di cinta ulam tiba, pikirku. Tapi, niat itu bukan karena aku takut akan tetapi karena aku sudah keburu ilfeel sama Bapak Doktor satu ini. Wong belum apa-apa sudah menjatuhkan mental mahasiswa yang dibimbingnya.

"Anda yakin mau ambil skripsi ini? Teman saya saja butuh waktu 10 tahun untuk membuat disertasinya, sama dengan teori yang kamu pakai," katanya waktu itu.

Wah Pak, masak iya skripsi mahasiswa Strata Satu disamakan dengan disertasi mahasiswa doktoral. Jujur, saat itu aku memang sedikit tersanjung tapi juga merasa bingung dan ngeper saat mendengar ucapannya itu... He..he..

Sedikit mengumbar, he..he.. Skripsiku berjudul "Ketertundukan Media Massa Atas Keinginan Pasar Pembaca. Sebuah Studi Ekonomi Politik Media Massa."

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkap peran 'pasar' pembaca yang --ternyata-- dapat menentukan isu dan isi pemberitaan di media massa. Di samping itu juga, skripsi ini ingin membuktikan bahwa di balik berita ada kepentingan ekonomi dan politik di dalamnya.

Aku sendiri mumet tapi tetap nekad untuk melanjutkan. He..he.. Pokoke, maju terus pantang mundur lah. Itu belum lagi ditambah dengan ucapan Pak Heri yang semakin membuat kepala tambah pusing tujuh keliling.

"..... Selain itu juga, pertama Anda harus baca, ya, minimal 10 buku ekonomi, 10 buku politik. Gimana, masih mau lanjut?" katanya, entah menantang atawa mau menjatuhkan mentalku. Ouww...serammm... he..he..

Ya, sudah lah jangan di bahas lagi. Kalau ini mentok aku sih sudah punya judul lain berikut bahannya. Tinggal dikerjakan. Tak..tik..tak..tik.. Mmhh.. Tapi kalau ada yang punya usulan lain dengan tema menarik, boleh.

Akhirnya, setelah membulatkan tekad untuk tidak bertemu dosen hari ini aku pun menghampiri segerombolan siberat yang sedang nongkrong di 'halte', he..he.. Maaf Bro!

Ya, sebut saja Bung Jhon dan Mandra, yang selalu beredar di kampus hanya untuk memandangi mahasiswi-mahasiswi kece tapi tidak ada follow up-nya. Selalu begitu setiap bertemu, he..he..

Kemudian, ada Fatur, mantan wartawan biro --sudah dipecat-- di sebuah harian nasional dan Aji, yang sepengetahuanku selain kuliah sidejob-nya adalah pebisnis online. Mereka adalah senior satu tingkat di atas ku dan belum lulus. Ayo, cepat lulus Kawan!

Di sela-sela bercengkerama dengan gerombolan siberat, he..he.. Maaf lagi, Bro! aku menyempatkan diri bertemu dengan Lisa, seorang perempuan aktivis pers mahasiswa Moestopo, Diamma.

Orangnya cukup cantik dan selalu mengenakan kerudung, meski menurutku itu bukan jilbab. Ya, selain ada keperluan kampus aku juga ingin menanyakan kepadanya apakah majalah mereka sudah terbit.

Lisa juga mengajakku untuk ikut acara mereka. Kalau tidak salah, acara seminar fotografi jurnalistik yang digelar di Museum Fatahillah, Jakarta. Mendadak ponselku bergetar. Ada pesan singkat masuk.

"Dmn lu? Anak2 udah pada balik. Gue udah di parkiran motor neh. Cepetan."

Ternyata dari Fatur. Akhirnya, bincang-bincang ria dengan Lisa dan seorang kawannya terhenti. Aku pun pamit kepada Lisa dan kawannya, yang juga seorang perempuan aktivis Diamma.

Ternyata benar, di pelataran parkir Fatur sudah siap dengan 'kuda besinya' yang menyala.

Seperti biasa, sebelum mencapai rumah masing-masing Fatur terlebih dahulu kuajak nongkrong di warung Nasi Kucing yang tempatnya tidak jauh dari perumahan tempat aku tinggal. Rumah Fatur sendiri di Bekasi.

"Jadi," katanya singkat sembari memencet-mencet tombol HP miliknya.

Dua 'kuda besi' milik kami pun meluncur. Jalan-jalan protokol seperti Jalan Gatot Soebroto hingga jalan non-protokol namun jalan utama, seperti Jalan Kali Malang, kami lewati. Kurang lebih satu jam kami akhirnya tiba di tempat tujuan.

Dua gelas minuman campuran teh, jahe dan susu langsung kami pesan. Dua bungkus nasi putih porsi kucing berikut dengan lauk pauk yang sederhana pun dilahap.

Hawa hangat langsung menyelimuti rongga-rongga badan setelah menyeruput minuman mix yang kami pesan. Begitu pun dengan bibir yang terasa 'terbakar' karena kepedasan melahap cabai ulek.

Meski demikian hanya ada satu kata yang dapat diucapkan, Maknyus! He..he..

Tak terasa sudah hampir tiga jam kami berada di sana. Ya, biasa lah kalo ngomong ngalor-ngidul panjang dan nggak ada habisnya. Setelah membayar, kami kembali tunggangi 'kuda besi' milik masing-masing menuju rumah dengan sebuah keinginan menggapai toga di kepala yang saat ini sedang kami perjuangkan. Penting ya? He..he.. Selamat berjuang!

17 Juni 2008

Selamat Ulang Tahun, Aunty

Mantan Presiden Ceko Vaclav Havel dan Wakil PM Alexandr Vondra bersama dengan ratusan orang berkumpul di pusat kota Praha, Ibu Kota Republik Ceko, untuk merayakan ulang tahun ke -63, ikon prodemokrasi Burma, Aung San Suu Kyi, Kamis (19/6). Perayaan seperti ini secara bersamaan juga digelar, diantaranya di New York, London, Tokyo, Korea Selatan, dan Taiwan.


63 tahun lalu, tepatnya Selasa, 19 Juni 1945, di Rangoon, Ibukota Burma, lahir seorang bayi perempuan cantik dari pasangan Aung San dan Ma Khin Kyi atau belakangan lebih dikenal Daw Khin Kyi.

Aung San adalah seorang Komandan Tentara Kemerdekaan Burma berpangkat Jendral yang kemudian menjadi Pemimpin Nasional Burma. Sedangkan Khin Kyi merupakan perawat senior di Rumah Sakit Rangoon.

Daw Aung San Suu Kyi, itulah nama yang diberikan kepada bayi itu.

Masa kecil dan remaja Suu Kyi --begitu ia disapa--, tidak seluruhnya dijalani di Burma. Tahun 1960, saat dirinya berusia 15 tahun, Suu Kyi remaja meninggalkan tanah kelahirannya menuju Delhi, India, untuk mengikuti Ibunya yang diangkat menjadi Duta Besar Burma untuk India.

Empat tahun kemudian, Suu Kyi yang telah tumbuh menjadi pemudi memutuskan terbang ke Inggris untuk kuliah di St. Hugh's College, Oxford University, Inggris. Di sana ia mengambil studi Politik dan Ekonomi. Gelar Bachelor of Art (BA) pun ia raih hanya dalam waktu dua tahun (1964-1967).

Di tahun 1969 atau dua tahun setelah menyelesaikan kuliahnya, Suu Kyi mulai bekerja sebagai seorang Penasehat Komite di kantor pusat United Nations atau Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Saat kuliah, kisah cinta Suu Kyi pun bersemi. Michael Vaillancourt Aris, seorang pemuda Inggris bergelar Ph.D atau Doktor yang bertemu dan dikenalnya saat kuliah dahulu menikahinya di tahun 1972. Dari pernikahan mereka kemudian melahirkan dua orang anak yaitu, Alexander (1973) dan Kim (1977). Keduanya lahir di Inggris.

20 tahun hidup di negeri seberang membuatnya rindu dengan tanah kelahiran. Maret 1988, bersama suami dan kedua anaknya ia pun kembali ke Burma. Namun, saat itu situasi politik di Burma tengah bergejolak karena gerakan prodemokrasi yang terdiri dari rakyat, pelajar dan mahasiswa Burma turun ke jalan meneriakkan antirezim junta militer di bawah pimpinan Jendral Ne Win.

8 Agustus 1988, rezim junta militer pimpinan Jendral Ne Win "membungkam" protes para demonstran dengan cara kekerasan. Jutaan orang tewas terbunuh. Peristiwa berdarah ini kemudian dikenang sebagai Tragedi 8888.

Kondisi penindasan dan pemiskinan serta kemudian ditambah lagi dengan peristiwa pembantaian massal terhadap rakyat Burma oleh rezim junta militer yang dilihat Suu Kyi langsung mengusik hatinya sebagai seorang anak bangsa. Itulah yang akhirnya kemudian ia bertekad untuk melakukan perubahan di Burma.

Bulan September di tahun yang sama, The National League for Democratic (NLD) didirikan, dimana ia menjabat sebagai sekretaris jendral. Sejak saat itu, sebagai seorang pimpinan partai ia pun "Turba" alias "turun ke bawah" memulai pengorganisiran dan menjalankan pendidikan politik rakyat. Tidak hanya itu, ia pun menyerukan demokrasi dan pemilu yang bebas.

Meski Jendral Ne Win menjalankan pemerintahan junta militernya dengan represif, namun Suu Kyi tak mau melawan rezim dengan cara kekerasan, meski hal itu bisa saja ia lakukan karena seluruh rakyat Burma sudah berada di belakangnya.

Ahimsa. Itulah metode perjuangan tanpa kekerasan yang ia lakukan, yang terinspirasi dari tokoh India Mahatma Gandhi dan pejuang HAM di AS, Martin Luther King.

Sepak terjangnya telah merebut hati seluruh hati rakyat Burma. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan besar Partai NLD dalam pemilu Burma pada bulan Mei di tahun 1990. 82 persen kursi di parlemen diraih oleh NLD.

Namun, rezim junta militer tidak mau terima kemenangan Partai NLD dalam pemilu. Rezim junta militer menganulir kemenangan Partai NLD dan Jendral Ne Win memerintahkan penangkapan terhadap seluruh pengurus dan anggota Partai NLD, terutama terhadap Aung San Suu Kyi yang dianggap sebagai "biang keladi".

Sejak tahun 1991, rezim junta militer menahan Suu Kyi dalam rumah tahanan. Hal itu dilakukan rezim junta militer guna melemahkan dukungan rakyat Burma dan masyarakat internasional kepada Suu Kyi. Meski kebebasannya dikekang, Suu Kyi tetap bisa menyampaikan "pesan" demokrasi dan meneruskan perjuangannya ke luar dari balik penjara.

Dalam ketertindasannya dan rakyat Burma, Suu Kyi pun menerima the 1990 Rafto Human Rights Prize (12 Oktober), the 1990 Sakharov Prize dari Parlemen Eropa (10 Juli), dan Nobel Perdamaian (14 Oktober), atas perjuangan demokrasi dan HAM yang ia lakukan di Burma.

Meski sempat dibebaskan walau kemudian dipenjarakan kembali oleh junta militer --bahkan hingga saat ini--, Suu Kyi tetap tidak bisa bebas melakukan aktivitas di tanah air sendiri. Setiap langkahnya selalu dicurigai dan dibatasi oleh rezim junta militer.

Begitupun saat suaminya, Michael Aris, yang sejak tahun 1995 tidak pernah lagi ditemuinya karena dilarang oleh rezim junta militer, meninggal pada Maret 1999 lalu karena mengidap kanker prostat. Kalau pun, Suu Kyi memaksa untuk pergi ke Inggris --tempat suami dan kedua anaknya tinggal-- sudah dapat dipastikan ia tidak akan dapat kembali ke Burma, tanah air yang sangat dicintainya.

Penderitaan yang dirasakan, disadari olehnya memang adalah sebuah konsekuensi dari sebuah keyakinan atas perjuangan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia. Begitupun dengan ratusan orang yang hingga saat ini masih berada di dalam penjara-penjara negara sebagai tahanan dan narapidana politik.

Setiap perjuangan pasti ada sebuah pesan di dalamnya. Begitu pun dengan perjuangan yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi dan seluruh rakyat Burma, yaitu bahwa rakyat Burma sudah tidak tahan hidup di bawah kepemimpinan rezim junta militer saat ini. Hidup dalam pemiskinan, penghisapan dan penindasan oleh negara. Para pejabat pemerintahan kaya raya dan rakyatnya hidup dalam penderitaan.

Selamat ulang tahun, Aunty Suu. Keep on fighting for democracy!

16 Juni 2008

Ahmadiyah, Munarman, dan Negara yang Lemah


Berikut adalah pendapat SCTV, dalam hal ini Liputan 6 SCTV, menyikapi kasus Ahmadiyah, khususnya pada terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait Ahmadiyah dan kemunculan Panglima Laskar Pembela Islam Munarman di Polda Metro Jaya, setelah enam hari lamanya bersembunyi dan menjadi buronan polisi.

Sikap SCTV ini ditulis oleh Kepala Produksi Berita Liputan 6, Rahman Andi Mangussara, dalam Catatan Produser.


Luar biasa! Munarman mendadak sontak jadi pahlawan, setelah sebelumnya ia dinilai sebagai pecundang karena membiarkan anak buahnya ditangkap polisi sementara ia menghilang.

Inilah drama penobatan kepahlawanan Munarman itu: hanya dalam hitungan jam setelah Menteri Agama mengumumkan pelarangan Ahmadiyah, Munarman muncul di Polda Metro Jaya. Maka, apa boleh buat, saat itu ia langsung dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai pahlawan yang membuat lahirnya surat keputusan bersama tiga menteri itu. Kepada pers yang mencegatnya, sebelum masuk ke Polda Metro Jaya, Munarman dengan tegas mengatakan, "Saya menepati janji. Saya bukan pengecut." Kata pengecut ia ulangi beberapa kali untuk memberi tekanan.

Apa pun penilaian lawan-lawannya, harus diakui Munarwanlah pemenang dalam pertarungan melawan negara (pemerintah). Lihatlah bagaimana ia menekan pemerintah: "Setelah pemerintah membubarkan Ahmadiyah, baru tangkap saya, Munarman, sarjana hukum." Ia ucapkan tantangannya itu sehari setelah ia memimpin ratusan orang menyerang secara fisik lawan-lawannya di Monas. Apa yang terjadi, polisi gagal menangkapnya sekalipun puluhan anak buahnya sudah ditangkap dan dijadikan tersangka. Eh, ia tiba-tiba menyerahkan diri di Polda setelah pemerintah mengumumkan pelarangan Ahmadiyah.

Ini ironis. Munarman muncul sebagai pahlawan bukan karena kehebatannya, melainkan karena pemerintah sendiri yang membuatnya jadi pahlawan. Semua itu terjadi karena pemerintah yang lemah dan peragu. Lemah karena secara kasat mata kita menyaksikan bagaimana pemerintah (negara) tunduk pada tekanan Munarman dan kelompoknya. Peragu karena masalah Ahmadiyah ini dibahas berlama-lama tanpa satu keputusan yang pada akhirnya toh mereka putuskan juga mengikuti tekanan publik. Pernyataan Presiden bahwa negara tidak boleh kalah, yang ia lontarkan dalam jumpa pers khusus menanggapi kekerasan yang dilakukan Munarman dan kelompoknya, justru memperlihatkan sebaliknya.

Kita mungkin belum masuk kategori sebagai negara gagal, di mana salah satu indikatornya adalah tidak ada jaminan hukum dan ketertiban, tapi negeri ini sudah pasti bisa dikatakan sebagai negara lemah---ya, selemah-lemahnya negara. Pemerintah bisa didikte, lamban, peragu, dan hukum hanya ditegakkan kepada mereka yang tidak punya kelompok atau tidak punya kekuatan politik.

Dalam konteks ini pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pemerintah tidak bisa bekerja dengan fokus karena setiap hari didemo, dikritik, dicaci-maki, dituding dan tentu saja ditekan, menjadi tidak bermakna. "Presiden tidak bisa berpikir karena setiap hari dikasih mike (pengeras suara) ke arah Istana," ujarnya pada suatu acara yang dihadiri kader-kader Golkar.

Bagi kita, soalnya bukan pada apakah ada demo setiap hari di depan Istana Presiden atau tidak, bukan pula apakah lawan-lawan politik pemerintah setiap hari berkoar-koar atau hanya diam, melainkan apakah pemerintah kuat atau tidak, apakah pemerintah bisa menandingi kekuatan lawan atau tidak. Dalam banyak hal, bisa dikatakan, pemerintah kalah dengan kelompok penekan itu.

Francis Fukuyama sudah lama menyarankan bahwa masa di mana kelompok-kelompok penekan di dalam masyarakat makin kuat, pemerintah tidak boleh lemah. Hanya dengan pemerintah yang kuat, demokrasi bisa berjalan.

Mati Lampu dan Ahmadiyah

"Ma, listrik udah hidup ya," tanyaku pada Mama yang sedang membaca koran di depan pintu rumah.

"Ya sudah," jawabnya singkat.

Ahh.. akhirnya listrik hidup kembali, gumam saya. Saya pun kembali dapat hidup, he..he.. Sejak pagi tadi listrik di rumah dan di sekitar tempat tinggal saya memang padam. Listrik baru kembali menyala sekitar jam 12.30 Wib, setelah sekitar lima jam lamanya dipadamkan PLN.

Padamnya listrik sejak tadi pagi memang membuatku benar-benar bingung mau melakukan apa. Dasar anak kota, ha..ha.. Hanya koran yang kupegang sejak pagi tadi. Itu pun, dari serentetan berita yang tersaji di koran hari ini hanya beberapa saja yang kubaca, selebihnya tidak.

Padamnya lampu hari ini memang bukan kali pertama. Ini sudah kesekian kalinya terjadi, menurut Mama saya, yang memang lebih sering di rumah ketimbang anggota keluarga lainnya.

Keluargaku memang bukan satu-satunya "korban" PLN. Masih ada jutaan bahkan puluhan juta keluarga Indonesia lainnya yang juga menjadi "korban" PLN, walaupun sudah berusaha menjadi pelanggan setia PLN yang taat membayar tagihan tepat waktu dan melakukan saran PLN untuk berhemat listrik.

Aku pun tak mau berlama-lama mengeluh dan menggerutu terhadap kinerja PLN, seperti yang biasa dilakukan Mama atau kebanyakan orang ketika listrik padam. Lebih baik langsung demonstrasi ke kantor pusat PLN atau kalau perlu boikot aset-aset PLN sekalian.

Aku pun langsung menuju meja komputer. Dazz.. sekitar 10 menit kemudian komputer pun menyala dan langsung terkoneksi. Memang agak sedikit lama kutunggu. Ya, maklum lah umur komputer ini sudah tahunan, he..he..

Tanganku langsung bergerak di atas papan ketik komputer (keyboard) memerintahkan "sahabatku" ini agar terkoneksi ke YahooMail. Setelah terbuka, kulihat di dalam Inbox hanya baru ada dua pesan elektronik saja yang masuk, yaitu dari milis MediaCare dan kantor berita Antara, yang isinya berita-berita pilihan dari dalam negeri maupun mancanegara.

Setelah melihat e-mail Antara, selanjutnya aku membuka e-mail dari milis MediaCare. Sejumlah postingan di milis yang tersaji masih sama seperti kemarin. Bosan karena tidak ada postingan baru yang ditampilkan.

Namun, sebelum menutup e-mail dari MediaCare Mouse kuarahkan ke bawah. Ahh.. ternyata ada postingan yang belum kubaca rupanya. Judulnya cukup menarik perhatianku: Ormas Islam, Polisi & Wartawan Terlibat Penganiayaan Ahmadiyah?, yang diposting oleh wirajhana_eka, hari Minggu kemarin jam 15.48 Wib.

Di dalam postingan itu tertulis, "ternyata benar polisi di barisan depan mengawal penganiaya. Ternyata benar, wartawan kita berhasil ditakuti-takuti dan ini bukti kebebasan pers sudah hilang dari bumi Indonesia." Kemudian, sebagai penguat tulisan si penulis posting tersebut mengajak pembaca untuk menonton tayangan video yang diposting di YouTube.

Saya pun penasaran ingin melihatnya. Setelah kubuka, muncul lah tayangan yang dimaksud si penulis posting tadi. Judulnya: Penganiayaan Terhadap Jamaat Ahmadiyah di Indonesia #3, dengan durasi 07 menit 36 detik yang diposting dengan nickname danialanwar pada 12 Februari 2008.

Pada awal tayangan, seorang narator bercerita tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Kabupaten Bogor, yang meminta perlindungan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat, khususnya kepada aparat kepolisian, karena merasa terancam oleh aksi-aksi segerombolan orang yang mengancam akan melakukan tindakan-tindakan keras terhadap jemaat Ahmadiyah.

Namun ironisnya, dikatakan narator, Pemkab Bogor yang seharus melindungi setiap warganya dari segala ancaman justru menerbitkan Surat Pernyataan Bersama, yang ditanda tangani oleh seluruh jajaran Pemkab Bogor, yang berisi larangan JAI melakukan kegiatan di seluruh Kabupaten Bogor.

VT atau video tape saat narasi itu berlangsung memperlihatkan Surat Pernyataan Bersama itu ditempel bersama dengan garis polisi (police line) di pagar Kompleks Kampus Mubarak, markas pusat JAI di Bogor. Dan, selanjutnya pada VT itu terlihat belasan aparat Trantib atau Pamong Praja Kabupaten Bogor merobohkan papan nama JAI. Cuplikan tayangan ini sepertinya milik salah satu stasiun TV yang diambil pada 15 Juli 2005.

Selanjutnya, pada tayangan ini terlihat dan terdengar seorang pengurus JAI sedang beradu argumentasi dengan salah seorang pejabat Pemkab Bogor yang memaksa keluar seluruh warga JAI dari Komplek Kampus Mubarak.

"......... aparat (seharusnya) negara tahu menempatkan porsi. Ini, kan, rumah kami. Jadi bagaimana mungkin kami mengosongkan rumah kami," ujar pengurus JAI dari balik pagar yang tertutup kepada pejabat Pemkab Bogor itu. Keduanya sama-sama mengenakan peci hitam.

"Kami minta dilindungi. Ini rumah kami," katanya lebih lanjut kepada pejabat itu.

Namun sangat disesalkan, seorang pejabat Pemkab Bogor itu menjawabnya dengan, "Bapak tahu suasana di luar sudah seperti apa?" katanya sambil menunjuk ke arah gerombolan orang yang siap menyerbu "rumah" warga JAI.

"Kami sudah menyatakan, kami tidak sanggup mengamankan Bapak di dalam sini. Artinya, Bapak (dan warga JAI) harus segera keluar" kata pejabat itu lebih lanjut dengan nada tinggi.

Melihat tayangan dan mendengar pernyataan pejabat Pemkab Bogor dalam tayangan ini sungguh sangat memalukan. Negara (pemerintah) yang seharusnya melindungi setiap warganya tanpa terkecuali, yang merasa kehidupannya terancam oleh kelompok lain, dan berdiri netral menegakkan hukum dan keadilan di atas kedua kelompok tersebut justru berpihak kepada salah satu kelompok.

Kasus Ahmadiyah dan keberpihakan negara (pemerintah) terhadap salah satu kelompok dan bahkan cenderung ikut serta "menyerang" Ahmadiyah, menuai protes dan kecaman dari banyak tokoh nasional. Hal itu diantaranya dihadirkan dalam tayangan ini.

"Padahal Ahmadiyah sendiri itu mengaku Islam dan menjalankan syariat Islam sebagaimana yang lain-lain (umat Islam). Tapi dilarang untuk menjalankan ibadah menurut keyakinannya," kata Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau disapa Gus Dur, seperti biasa tak kalah keras melontarkan kecaman terhadap negara (pemerintah) dan kelompok-kelompok yang selalu memaksakan keinginannya melalui kekerasan agar Ahmadiyah dibubarkan.

"Saya menolak sekeras-kerasnya sikap seperti itu. Ini bukan negara Islam (tapi) negara nasional," tegas Gus Dur.

Dalam tayangan ini juga dikatakan, pemberitaan mengenai Ahmadiyah di media massa mainstream cenderung berpihak kepada segelintir kelompok yang selama ini getol menginginkan Ahmadiyah dibubarkan. Narator dalam tayangan ini juga mengatakan, diduga media massa tengah mendapat tekanan dan intimidasi dari sejumlah kelompok tersebut.

"Kepada seluruh wartawan saya ingatkan (agar wartawan tidak berpihak kepada Ahmadiyah). Saya lagi saya perhatikan, seandainya ada berita yang salah berarti wartawannya, wartawan pro-Ahmadiyah," kata Habib Abdurrahman Bin Ismail Assegaf, dengan menggunakan pengeras suara dari atas mobil pick up hitam, saat memimpin penyerbuan ke markas pusat JAI di Kompleks Kampus Mubarak, Bogor, beberapa waktu lalu.

Yang sangat disesalkan, di dalam tayangan ini terekam satu unit mobil patroli polisi lalu lintas berada di barisan paling depan massa penyerbu dan digunakan untuk membawa orang-orang yang hendak menyerbu markas pusat JAI. Bahkan, Habib Abdurrahman berorasi secara bebas di atas mobil polisi ini.

Tak berdayanya aparat polisi terhadap kelompok-kelompok penyerbu markas pusat JAI juga terlihat dalam rekaman ini.

"Tidak ada polisi yang bisa menangkap pemimpin-pemimpin kita. Kalau ada aparat menangkap komando-komando pimpinan hari ini, umat harus maju, umat harus lawan," kata seorang penyerbu yang mengatakan hal itu dari atas mobil patroli polisi.

Dalam rekaman ini juga memperlihatkan, Habib Abdurrahman sedang duduk santai sambil merokok di dalam mobil patroli polisi. Duuh..enaknya.

Padamnya lampu pada hari ini memberi tanda dan arti bagiku bahwa telah padamnya lampu keadilan dan kebebasan beragama di Indonesia, yang padam dan tak bepijar karena negara (pemerintah) tidak dapat memberikan keadilan demokrasi dan HAM kepada rakyatnya.

08 Juni 2008

Bang Barry dan Paman Sam


Selasa (3/6) malam lalu atau Rabu waktu Indonesia, arena Hoki di St. Paul, Minnesota, Amerika Serikat, bergema oleh teriak gemuruh sekitar 30 ribu orang yang memenuhi tempat itu untuk merayakan "kemenangan" calon presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama.

Senator asal negara bagian Illinois ini mendulang suara terbanyak dari para delegasi super yang berakhir di dua kota, Montana dan South Dakota. Obama mendapat 2.156 suara sedangkan Hillary Rodham Clinton, pesaingnya di Partai Demokrat, memperoleh 1.993 suara.

"Amerika, inilah saat kita. Ini adalah waktu kita. Waktu kita untuk berpaling dari kebijakan-kebijakan masa lalu ........ Saat kita untuk memberikan satu arahan baru bagi negara yang kita cintai," kata Obama di hadapan para pendukungnya malam itu.

Ya, "kemenangan" Obama ini akhirnya menjadikannya sebagai Capres resmi dari Partai Demokrat yang akan melawan Capres dari Partai Republik, senator asal Arizona John McCain, dalam pemilu AS mendatang.

Sejak memproklamirkan niatnya untuk menjadi Presiden AS, Obama langsung menjadi pusat perhatian diantara Capres-capres lainnya, baik dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Tidak hanya rakyat AS, para pengamat dan masyarakat internasional pun turut mengamati Capres AS pertama berkulit gelap ini.

Bukan hanya karena soal perbedaan fisik yang membuatnya mendapat tempat "lebih" di mata dunia, terutama dari rakyat AS, ketimbang Capres-capres lainnya dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Tetapi, yang utama adalah janji perubahan yang dihembuskan dalam kampanyenya.

Change. We Can Believe In. Begitu slogannya.

Sosok Obama yang meluncur ke pentas politik nasional AS tidak hanya mewabah di negara Paman Sam saja, tetapi juga menyebar hingga ke banyak negara. Jepang dan Indonesia, misalnya.

Masyarakat di kota Obama, sebuah kota kecil yang terletak di bagian Barat Jepang ini, turut terjangkit "virus" Obama, Capres AS dari Partai Demokrat yang tengah berebut kursi Presiden AS ke-44 itu. Kota "Obama" yang bertepian pantai ini penuh dihiasi dengan gambar Obama. Mulai dari souvenir, t-shirt hingga sumpit.

Indonesia tak turut ketinggalan. Meski tidak "segila" kota Obama, di Jakarta Obama fans club dibentuk awal Maret lalu oleh sejumlah kawan lama Obama ketika bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 01, Jl. Besuki, Menteng, Jakarta Pusat, di tahun 1972. Dulu, kawan bule satu ini mereka panggil Barry.

Ya. Itulah Obama, dengan "virusnya" yang tengah menjangkiti rakyat AS dan masyarakat internasional, walaupun tak keseluruhan.

Namun demikian, dibalik "kemenangan" Obama yang datang dari perbedaan warna kulit, "mantra" pidato yang, katanya, telah membuat rakyat AS terhipnotis dan perubahan yang dijanjikannya, ada hal lain yang lebih penting yang juga perlu dicermati.

Apakah nantinya jika Obama menang dalam Pemilu AS mendatang dan akhirnya menjadi Presiden AS ke-44, kebijakan AS, terutama kebijakan luar negeri AS akan berubah di tangannya? Meskipun dalam setiap pidatonya, bahkan pidato "kemenangan" di St. Paul kemarin, menyampaikan kata "perubahan".

Menurut saya, kebijakan AS, terutama kebijakan luar negerinya belum tentu berubah meskipun berada di tangan Obama. Bagaimana pun, watak dari pemerintah AS yang salah satunya doyan menaruh "taring" di negara lain sudah berurat akar. Mungkin sudah terpatri di hampir kebanyakan para pejabat dan politisi AS.

Walaupun, Obama saat ini terlihat di mata publik sebagai satu-satunya Capres AS dalam pemilu kali ini yang berasal dari kalangan minoritas di masyarakat AS, atau bahkan dapat "akrab" dengan "musuh-musuh" AS selama ini, tetap saja bagi saya itu belum bisa dijadikan jaminan akan lahirnya perubahan atas arah kebijakan AS, terutama kebijakan luar negerinya, di masa kepemimpinan Obama nantinya jika terpilih.

Mau dan beranikah Obama, jika nantinya terpilih menjadi Presiden AS menarik seluruh pasukan AS yang dikirim oleh Presiden George W. Bush menginvasi Afghanistan dan Irak? Dan, Obama mau mengembalikan seluruh aset-aset dari negara lain yang dirampas dihisap (hingga saat ini) oleh pemimpin-pemimpin AS sebelumnya atas kendali para "drakula" kapitalis?

Dua hal ini pun belum tentu mau dan berani dilakukan Obama. Sampai sekarang hanya ada dua kekuatan besar di dunia yang membuat AS paranoid yaitu komunis dan Islam. AS memusuhi keduanya dan selama ini getol menghancurkannya. Pascasoviet, sekarang ini hanya Islam kekuatan yang mampu membuat AS "panas-dingin".

Kita, masyarakat internasional, tidak peduli siapa orangnya dan darimana asalnya. Siapa pun presidennya jika antiHAM dan antidemokrasi, lawan!

07 Juni 2008

Negara Tidak Boleh Kalah, tapi....


"Saya minta hukum ditegakkan, pelaku-pelaku diproses secara hukum dan berikan sanksi hukum secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Senin (2/6/2008).

Pernyataan itu disampaikan Presiden satu hari setelah peristiwa penyerangan anggota Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Silang Monas, Jakarta, Minggu (1/6/2008).

Membaca pernyataan Presiden Yudhoyono yang menyikapi peristiwa berdarah di Monas sungguh sangat aneh, bahkan lucu. Sekilas memang, tampak ketegasan pemerintah terhadap pelaku-pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM dan upaya untuk menegakkan hukum di Indonesia.

Namun, menurut saya pernyataan presiden tidak akan berarti apa-apa dan hanya akan menjadi pernyataan "sampah" jika negara (pemerintah) tidak mengambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok fasis berkedok aliran yang hidup dan berkembang biak di Indonesia.

Peristiwa berdarah di Monas adalah buah akibat pembiaran negara (pemerintah) terhadap sepak terjang dan berkembangnya kelompok-kelompok fasis berkedok aliran, yang diantaranya seperti FPI, di Indonesia selama ini. Padahal, setiap aksinya selalu menerabas pagar hukum, mengancam kerukunan beragama dan merampas hak-hak warga negara lainnya.

Peristiwa berdarah seperti yang terjadi di Monas, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fasis berkedok aliran, bukanlah yang kali pertama terjadi. Sebelumnya, sudah ada serentetan peristiwa lainnya yang sama terjadi namun oleh aparat penegak hukum tidak pernah mendapatkan ganjaran hukum.

Tidak adanya aparat polisi saat peristiwa berdarah di Monas terjadi dan adanya pernyataan dari Polri bahwa peristiwa itu terjadi juga karena pihak AKKBB tidak pernah berkoordinasi dengan kepolisian semakin kuat menunjukkan bahwa negara (pemerintah) memang melakukan pembiaran.

Negara tidak boleh kalah dari para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM, saya setuju. Namun, bila keberadaan kelompok-kelompok fasis berkedok aliran tertentu masih tetap dibiarkan "hidup" pascaperistiwa ini negara bukan saja (terus) kalah berhadapan dengan para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM, tetapi juga rakyat juga akan semakin terancam hidupnya.

Negara tidak boleh kalah tapi negara juga tidak boleh melakukan pembiaran, baik terhadap "hidup" dan berkembangnya kelompok-kelompok fasis berkedok aliran seperti FPI, maupun terjadinya aksi-aksi brutal yang dilakukan para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM di Indonesia.

Negara (juga) tidak boleh kalah menghadapi para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM. Jangan hanya menangkap dan mengadili pelaku, tapi juga tangkap dan adili "sutradara" dibalik skenario kekerasan dan pelanggaran HAM. Namun, bila ini juga tidak dilakukan negara pasti akan kalah......

04 Juni 2008

Milisi dari Tanah Abang


Hari ini, "sarapan" pagiku menonton program berita TV Liputan6 Pagi. Sufiani Tanjung, reporter Liputan6 SCTV, sedang melaporkan langsung situasi di Markas Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pascaultimatum Polda Metro Jaya terhadap organisasi ini, Selasa (3/6/2008) malam.

Kemarin, Kapolda Metro Jaya Irjen Adang Firman memberikan batas waktu kepada organisasi ini agar sepuluh orang anggota FPI (sementara ini) yang terlibat dalam penyerangan massa FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) menyerahkan diri ke polisi.

Kesepuluh orang anggota FPI ini akan ditahan polisi terkait aksi brutal yang dilakukan FPI menyerang para peserta Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) yang tengah menggelar demonstrasi di Monas, Jakarta, Pusat, Minggu (1/6/2008) kemarin.

AKK-BB sendiri adalah aliansi yang terdiri dari tokoh nasional, pemuka lintas agama, aktivis keagamaan dan aktivis HAM dan prodemokrasi yang menyerukan dan menuntut negara agar menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Sepak terjang FPI di Indonesia selama ini selalu meresahkan masyarakat. Dengan atas nama agama, mereka melakukan aksi atau tindakan kekerasan kepada setiap orang maupun kelompok yang mereka nilai bertentangan dengan Aqidah atau ajaran Islam. Ya, paling "lunak" hanya dituduh atau dicap "kafir" oleh mereka.

Memaksakan kehendak mereka terhadap orang lain. Itulah kesan yang timbul dari para milisi asal Tanah Abang ini. Kenapa saya menyebut mereka "milisi" dari Tanah Abang?

Untuk awal, saya coba mengutip arti "milisi" dari Wikipedia. "Milisi" adalah suatu kelompok penduduk sipil yang diorganisasikan untuk membentuk suatu jasa paramiliter. Sedangkan, "paramiliter" adalah kelompok penduduk sipil yang dilatih dan diorganisasikan secara militer. Ya, sederhananya militerisasi sipil, lah.

Milisi atau paramiliter merupakan unit komando yang dibentuk oleh negara dan ditujukan untuk menjalankan "misi" pertempuran non-tradisional yang beroperasi di luar kendali resmi militer.

Kalau kita pernah menonton film "Hotel Rwanda" yang menceritakan kembali situasi perang di Rwanda, Afrika bagian tengah, di tahun '90-an kita akan melihat "aksi-aksi" para milisi atau paramiliter, baik dari suku Huttu dan Tutsi, yang bertindak kejam dan brutal membunuh siapa saja yang dianggap oleh "Tuan" mereka adalah musuh.

Keberadaan dan aksi milisi atau paramiliter tidak hanya ada dan terjadi di Rwanda atau di sejumlah negara yang pernah dan sedang dirundung perang saja. Di Indonesia, tempat kita tinggal saat ini pun ada dan terjadi, bahkan hingga sekarang ini.

Di bulan Mei 1998, saat gelombang besar demonstrasi rakyat dan mahasiswa menuntut Soeharto mundur semakin membesar, kelompok-kelompok milisi atau paramiliter dibentuk.

Mereka dinamai Pamswakarsa (Pengamanan Swadaya Masyarakat). Dengan dipersenjatai bambu, kayu dan "alat-alat" perang lainnya mereka muncul di jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya. Perintahnya satu: "amankan" jakarta.

Keberadaan FPI atau "milisi" dari Tanah Abang ini sendiri di Indonesia sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu. Tepatnya, 17 Agustus 1998 organisasi FPI dideklarasikan di Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, Tangerang oleh sejumlah habib, ulama dan mubaligh.

FPI lahir tak lama setelah rezim diktator Soeharto ditumbangkan. Hampir bersamaan kemudian lahir juga sejumlah organisasi antara lain seperti Forum Betawi Rempuq (FBR), yang kita kenal "gaya" bertindaknya beda-beda tipis dengan FPI.

Hingga saat ini belum terungkap siapa "Tuan" dari para milisi atau paramiliter di Indonesia. Namun, saat saya berbincang dengan sejumlah kawan aktivis mereka bercerita dan memberikan "pencerahan" kepada saya mengenai keberadaan milisi atau paramiliter di Indonesia.

"Pamswakarsa itu dulu dibentuk dan disebar ke jalan untuk menghantam gelombang demonstrasi yang menuntut Soeharto mundur," ujar seorang kawan.

"Dibelakang mereka itu Jendral," kata kawan lainnya menyambung sambil seraya menambahkan bahwa dari pola dan tindakan yang mereka lakukan seperti orang-orang yang sudah dilatih dan diorganisir dengan baik.

"Sekarang coba lo pikir siapa yang paling terlatih dan terorganisir di dunia ini kalau bukan tentara (militer)," katanya dengan penuh keyakinan.

Nah, kelompok milisi atau paramiliter "tenar" yang ada sekarang ini di Indonesia, seperti FPI, FBR, Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga, bukan tidak mungkin diorganisir dan dilatih oleh militer. Dan, bahkan mungkin dibalik mereka ada Jendral atau mantan Jendral!

Lihat saja setiap aksi ataupun sepak terjang mereka yang selalu membawa "alat-alat" tempur. Ya, kalau tentara membawa senjata, mereka pun membawa "senjata" seperti kayu, bambu atau bahkan senjata tajam dalam setiap "pertempuran".

Di dalam organisasi milisi atau paramiliter seperti FPI pun memiliki unit militer yang dinamakan Laskar Pembela Islam. Dari cara berpakaian pun bergaya tentara. Lihat saja Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga. Mulai dari sepatu, seragam dan baret kaya tentara.

Yang membuat semakin mengerikan ialah kini anak-anak muda di Jakarta tengah dilanda army style, he..he.. (kalau ini perbuatan "dosa" kapitalis!). Waduh, semakin banyak saja kelompok milisi dan paramiliter di Indonesia.