22 November 2008

"Para Pesolek"

Semakin mendekati pemilu, kemunculan iklan-iklan politik dari sejumlah politisi di media massa semakin semakin marak. Iklan politik para politisi saat ini tak ubahnya seperti iklan sabun atau iklan-iklan komersial lainnya. Rakyat terus-menerus dibombardir di semua lini dengan iklan-iklan politik yang menampilkan wajah para politisi, berikut dengan tema atau isu yang menjadi “jualan kecap” mereka.

Hampir setiap hari di koran, radio maupun televisi kini rakyat harus melihat para politisi pesolek itu. Mereka, para politisi pesolek, ini tak ubahnya seperti selebritis meski wajah dan suara mereka sama sekali tidak laik untuk “dijual” jika dilihat dari kacamata industri hiburan.

Para (politisi) pesolek itu kini tengah berias diri menghadapi pemilihan, baik dalam pemilihan kepala daerah yang sedang dan akan berlangsung di pelbagai daerah, Pemilu legislatif dan Pemilu presiden di tahun mendatang.

Pencitraan diri para politisi pesolek ini tercipta atau tidak terlepas dari buah pikiran dan tangan handal para konsultan politik, yang jasanya semakin hari semakin dicari oleh para politisi yang akan bersaing di arena politik pemilihan. Para konsultan politik ini siap membantu setiap kebutuhan “jasmani” para politisi menghadapi Pemilu 2009. Mulai dari membangun pencitraan hingga memoles citra buruk di mata rakyat menjadi citra baik.

Misalnya, bagaimana caranya seorang politisi yang tadinya sama sekali tidak dikenal karena memang tidak pernah menemui rakyat bisa mendadak dikenal rakyat, meski hanya lewat iklan sebuah kotak ajaib bernama televisi dan radio maupun lembaran koran maupun majalah. Atau, seorang politisi yang selama kiprahnya menjadi politisi busuk dengan pelbagai macam jenis kejahatan yang menyengsarakan rakyat, seketika menjadi seorang politisi yang berpihak kepada pentingan rakyat.

Eksploitasi Penderitaan Rakyat

Kemiskinan adalah satu dari sederet “menu” kegemaran para politisi pesolek di negeri ini. Sekolah roboh, pengangguran, kelaparan, kenaikan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak, dan setumpuk penderitaan rakyat lainnya mereka jadikan isu kampanye. Seolah-seolah mereka, para politisi pesolek, yang berpihak kepada rakyat.

Namun, pertanyaannya sekarang adalah apakah yang dilakukan para politisi dengan mengangkat kemiskinan dan penderitaan rakyat sebagai isu dalam iklan politik mereka saat ini menjelang Pemilu 2009 benar-benar untuk membela kepentingan rakyat?

Jawabannya tidak. Namanya saja para politisi pesolek. Mereka tidak akan pernah tulus membela kepentingan rakyat. Yang dicari hanya popularitas, popularitas dan popularitas! Tidak ada bedanya toh dengan selebritis?

Para politisi pesolek ini, yang salah satunya dapat dilihat pada iklan politik Wiranto dengan Partai Hanura, mengeksploitasi kemiskinan dan penderitaan rakyat untuk kepentingan dagangan politik mereka di Pemilu 2009.

Kemiskinan juga dijadikan “senjata ampuh” untuk melancarkan manuver-manuver politik mereka terhadap rezim yang tengah berkuasa. Lewat iklan-iklan yang mengeksploitasi kemiskinan ini, para politisi pesolek ini mencoba mengambil hati rakyat, Ad captandum vulgus, lewat segudang janji muluk yang mereka berikan.

Ilusi

Selain senang mengeksploitasi kemiskinan dan penderitaan rakyat, para politisi pesolek ini juga gemar mengumbar ilusi kepada rakyat lewat iklan politik mereka. Sejumlah politisi, baik yang telah menyatakan atau masih “menunggu” untuk mengatakan akan bertarung menjadi calon presiden pada Pemilu 2009, mengelabui rakyat dengan gambaran situasi dan kondisi yang ilutif. Seolah-olah ada dan terjadi (hidup rakyat sejahtera) meski fakta sosialnya tidak berkata demikian.

Coba saja tengok iklan dari Partai Gerindra bersama Prabowo Subianto, Partai Demokrat dengan capresnya Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dan Megawati Soekarnoputri dengan PDIP. Lewat iklan politik mereka yang menghiasi layar kaca dan lembaran koran atau majalah, rakyat diberikan suatu ilusi tentang masa kemakmuran, kesejahteraan, yang sebenarnya tidak pernah ada di negeri ini, kini dan sebelumnya.

Bahkan, dalam iklan politik Partai Gerindra dengan “model iklannya” Prabowo Subianto, rakyat hendak dibawa ke masa-masa dimana rezim Orde Baru berkuasa, yang jelas-jelas pada masa itu rakyat hidup dalam ketertindasan. Dalam iklan tersebut, malah dikatakan negeri ini –pada masa rezim Soeharto- pernah menjadi “macan” –istilah yang digunakan dalam iklan tersebut- di kawasan Asia Tenggara bahkan hingga Asia karena rakyatnya sejahtera. Benarkah?

Harus diingat, iklan politik bukan iklan sabun atau iklan-iklan komersil lainnya. Rakyat bukan juga konsumen dari “produsen” bernama partai politik yang menjual “produk bermerek” politisi!

16 Agustus 2008

Nyanyian Tentang Rumah Kita


Hanya bilik bambu tempat tinggal kita tanpa hiasan tanpa lukisan // Beratap jerami beralaskan tanah // Namun semua ini punya kita // Memang semua ini milik kita sendiri // Hanya alang-alang pagar rumah kita tanpa anyelir tanpa melati // Hanya bunga bakung tumbuh di halaman // Namun semua itu punya kita // Memang semua ini milik kita sendiri // Lebih baik di sini // Rumah kita sendiri //


Penyanyi rock tua berambut kribo itu begitu bersemangat melantukan syair sebuah lagu di atas. Hingga urat-urat di lehernya terlihat jelas. Suara lengkingan gitar sang sahabat yang menciptakan lagu tersebut di pertengahan tahun 80'an, turut mengiringinya. Di hadapan mereka, puluhan orang muda duduk berjajar. Jutaan pasang mata lainnya juga ikut menonton dari layar televisi. Mereka sedang bersiap merayakan kelahiran Republik yang mereka cintai. Indonesia.

Lewat nyanyian tersebut, duo rocker itu ingin mengingatkan kita agar berbangga diri dengan apa yang ada dan kita punya di Republik ini. Mereka berbicara tentang Rumah Kita. Kepunyaan kita. Meski itu hanyalah sebuah tempat tinggal dengan bilik-bilik bambu, beralaskan tanah dan berpagarkan alang-alang namun, sebut dalam syair itu: semua itu milik kita. Milik kita sendiri.

Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul ketika kita saat ini sedang berada dalam perjalanan panjang menuju menjadi satu bangsa besar dan merdeka yang kini telah berumur lebih dari separuh abad itu. Masihkah tempat yang hanya berbilik bambu, beralas tanah dan berpagar alang-alang itu milik kita? Milik kita sendiri, seperti yang dikatakan dalam syair lagu tersebut.

Lagu tersebut kemudian membawa ingatan saya kembali pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2001. Saya masih duduk di kelas dua SMA. Saya sendiri saat itu aktif di Gerakan Solidaritas Pelajar Jakarta (GSPJ), enkleaf dari PIJAR Indonesia. Kawan-kawan PIJAR sering mengajak saya mengunjungi sebuah perkampungan nelayan di Ancol Timur, Jakarta Utara. Di sana, mereka tengah melakukan kerja advokasi di perkampungan nelayan yang akan digusur oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Perkampungan nelayan itu cukup luas. Hampir seribu jiwa tinggal di sana. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesisir Pantai Utara, di daerah Jawa Barat. Kalau saya tidak salah ingat, salah satu nama daerahnya Cirebon. Akan tetapi, mereka sudah lama meninggalkan daerah asal mereka dan memutuskan tinggal di daerah itu hingga puluhan tahun. Maka tidak heran jika ada warga yang sudah beranak pinak di sana, bahkan hingga memiliki cicit.

Letak perkampungan ini berada persis di sebelah kawasan PLTU Ancol Timur. Tepat di bibir pantai pesisir pantai Ancol Timur. Jaraknya kira-kira hanya sekitar 1,5 kilometer dari Terminal Tanjung Priok.

Untuk pertama kali, menuju ke sana mungkin gampang-gampang susah. Itu karena, letaknya yang tidak berada dekat dengan jalan raya besar yang menghubungkan Tanjung Priok-Kota. Masih ada sekitar 500 meter lagi dari jalan raya besar yang merupakan pintu masuk untuk menuju ke perkampungan tersebut. Dengan berjalan kaki butuh waktu 15 menit.

Rata-rata rumah warga di sana hanya berdinding triplek. Tidak ada satu pun rumah memiliki pagar. Hanya segelintir warga saja yang sudah berdinding batu dan beratapkan seng. Itu pun sudah termasuk rumah golongan "mewah" di kawasan tersebut. Rumah-rumah di sana pun tak mengenal istilah surat kepemilikan tanah dan mendirikan bangunan, seperti umumnya surat-surat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan pemerintah dan selalu dijadikan alat pemerintah untuk seenaknya menggusur tanah dan bangunan apa saja.

Saya sendiri tidak tahu persis seperti apa sistem dan mekanisme kepemilikan tanah yang digunakan warga di perkampungan tersebut. Saya hanya bisa menerka-nerka. Mungkin, siapa pun yang tinggal terlebih dahulu di sana, ia boleh memilih tempat dan menempati tanah tersebut.

Ya, sistem itu memang pada akhirnya menjadikan beberapa orang menjadi tuan tanah di tanah yang sebenarnya tak bertuan itu. Tapi, selama mengunjungi tempat itu, saya belum pernah mendengar ada warga saling bertengkar karena persoalan tanah yang mereka tempati bersama-sama. Saya kira selama tidak adanya ketamakan di antara warga persoalan-persoalan seperti itu tidak akan muncul.

Perkampungan ini memang tidak sebegitu terkenal seperti perkampungan nelayan di Marunda. Itu karena "promosi" hanya dilakukan dari mulut ke mulut saja. Namun demikian, banyak juga orang yang bukan dari kampung tersebut datang ke sana. Mereka datang untuk memancing. Bahkan, kebanyakan mereka yang datang adalah orang-orang kaya. Itu terlihat dari mobil-mobil yang mereka gunakan. Tidak sedikit juga dari mereka datang dengan mengajak keluarga hanya untuk sekadar menikmati ikan-ikan segar. Beberapa kapal boat milik orang-orang kaya juga tersandar di sana.

Banyak cerita yang saya dengar dari warga nelayan saat saya datang ke sana. Mulai dari cerita mengenai suka duka mereka menjadi nelayan yang menggantungkan nasibnya dari melihat kondisi angin, hingga bercerita tentang "kebutuhan biologis" mereka (terutama kaum pria), yang bilamana sedang memuncak mereka tak segan mengajak pasangannya untuk segera melampiaskannya di perahu. Tak peduli apakah saat itu perahu sedang berada di tengah laut atau ombak kencang tengah menggoyang-goyangkan kapal mereka.

Tapi dari semua cerita yang pernah saya dengar, ada satu cerita yang menarik perhatian saya. Cerita mengenai awal mula berdirinya perkampungan nelayan. Dari Pak Tohir, salah seorang sesepuh berumur 80'an tahun di kampung itu, saya dapatkan cerita tersebut.

Kampung nelayan, menurut cerita Pak Tohir, dulunya adalah lautan, bukan daratan seperti sekarang ini. Lalu, saat banyak orang mulai berdatangan dan membangun rumah-rumah panggung di sana, air laut mulai surut dan pasir laut semakin menyembul ke permukaan hingga akhirnya membentuk sebuah daratan baru. Dia sendiri mendapatkan cerita itu saat masih kecil dari orangtuanya.

"Kampung ini pernah sempat ditinggal pergi sementara sama kita (warga), eh, air lautnya balik lagi. Sempat jadi laut lagi," katanya yang selain melaut juga membuka usaha warung kelontong. "Setelah kita balik lagi ke sini, air laut surut lagi. Tanahnya timbul. Ya, jadinya seperti sekarang ini. Mungkin ini sudah jodohnya kali." Saat ia bercerita, sudah beberapa hari air laut sedang pasang, menjorok hingga ke depan pintu rumah Bu Mar, seorang wanita tua tanpa keluarga yang tinggal hanya berjarak 15 meter dari bibir pantai.

Ombak pun sangat kencang hingga para nelayan juga tidak berani melaut. "Anginnya besar," kata seorang warga nelayan yang mestinya hari itu pergi melaut.

Meski sudah puluhan tahun "hidup" di Jakarta, perkampungan ini tidak pernah diakui dalam daftar Kelurahan setempat. Kasarnya, wilayah berikut warga yang tinggal kampung tersebut ini tidak pernah "ada" dalam data wilayah dan penduduk Jakarta. Organisasi RT pun mereka yang bentuk sendiri dan tidak pernah diakui kepengurusannya oleh Kelurahan. Tetapi, setiap bulan tanpa malu petugas Kelurahan rajin datang ke kampung tersebut untuk mengutip iuran warga sebagai penduduk DKI Jakarta.

Bahkan, menjelang pemilu para pengurus Parpol juga aktif mendatangi mereka. Memberikan mereka bendera partai untuk dipasang di perahu masing-masing. Mereka sih senang saja, "Lumayan lah Hut buat nambah hiasan di perahu," kata seorang nelayan kepada saya waktu itu sambil tertawa kecil.

Siang hari di bulan Oktober 2001, benteng perlindungan warga akhirnya runtuh. Rumah yang telah mereka huni selama puluhan tahun itu digusur. Mereka diusir dari rumah milik mereka sendiri yang mereka banggakan.

Segala upaya sudah dilakukan. Mulai dari melakukan perlawanan karena aparat bersikap represif, bantuan hukum dari LBH Jakarta dan dukungan dari puluhan organisasi masyarakat Jaringan Anti Penggusuran. Bahkan, tak tanggung-tanggung sejumlah anggota DPR RI juga didatangkan langsung ke lokasi saat hari kiamat itu tiba. Surat "sakti" dari Senayan yang diperlihatkan ke Kepala Dinas Trantib dan Kapolres Jakarta Utara saat itu tak mampu menghentikan langkah Backhoe menghancurkan rumah-rumah warga dan sebuah mushola yang terletak di tengah kampung.

Kini, perkampungan itu telah bersalin rupa. Sebuah gedung besar berdiri tegak dan angkuh di sana. Keceriaan anak-anak nelayan bermain air dan pasir di bibir pantai, sendau gurau para Ibu dan obrolan santai Bapak-bapak di warung kopi kini tak dapat lagi dilihat dan terdengar. Semua itu kini berganti dengan canda tawa para konglomerat dan suara menderu dari mesin Jet Ski. Ya, kini tempat itu telah berubah menjadi tempat yang sunyi, tertutup dan menyeramkan.

Besok, enam puluh tiga tahun sudah usia Republik ini. Republik yang pernah menjanjikan kepada rakyatnya rumah untuk ditinggali, tanah untuk dihidupi dan kekayaan alam untuk dinikmati. Namun semua itu hanya ilusi. Ilusi kemerdekaan. Rumah yang hanya berbilik bambu, beralaskan tanah dan tanpa pagar itu ternyata bukan lagi milik kita. Segelintir orang yang menguasai Republik ini telah merampasnya. Selamat ulang tahun Republik Indonesia!!!

01 Agustus 2008

Digambar Karikatur


Pagi hampir siang, sekitar jam 10, aku berkumpul dengan kawan-kawan sewaktu di SMA. Kami janji bertemu di McDonalds. Arindo, seorang kawan, sejak semalam sudah memberitahukan rencana pertemuan ini kepadaku melalui SMS.

Siang tadi, kami berkumpul untuk memastikan rencana bermain sepakbola futsal esok hari. Rencana itu diusulkan Lito saat kami berkumpul di pesta pernikahan Citra, teman kami di SMA, beberapa waktu lalu.

Aku tiba paling akhir: sekitar jam 11. Di sana, sudah kumpul Arindo, Lito, Tennov, Donal dan Christian. Sebelum bercakap-cakap, aku terlebih dahulu memesan minuman. Satu gelas coca-cola ukuran kecil. 5 ribu perak harganya.

Setelah tiba di tempat duduk, mereka lalu bertanya kepadaku, apakah besok pagi, hari Sabtu, aku bisa ikut bermain futsal.

Semalam, aku memang belum memberikan kepastian apakah aku ikut atau tidak ikut bermain futsal, karena besok siang aku ingin mengambil hasil editing video acara kematian Tulang Udut (tulang berarti paman dalam bahasa Indonesia), yang meninggal dunia hari Sabtu pekan lalu. Sedangkan sorenya, aku berencana datang ke acara pernikahan Dani, kawan aktivis LS-ADI, kini ketua Koalisi Anti Utang.

Sekitar sejam kami berada di McDonalds. Tak terasa, matahari sudah tepat berada di atas kepala kami. Keputusan juga sudah ada. Besok, jam sembilan pagi kami main futsal. Tennov kemudian mengajak makan siang. Tetapi tidak di McDonalds, melainkan di Warteg alias Warung Tegal.

"Lapar nih. Yuk, kita makan siang. Di warteg aja. Murah meriah," ujarnya.

"Dimana the warteg yang enak dekat sini," tanyanya kepadaku karena aku pernah bersekolah di daerah sana. Oh ya, kawan-kawan SMA memanggilku uthe. Nama panggilan itu memang diberikan saat di SMA oleh Malvina. Katanya, nama asliku beda-beda tipis dengan nama panggilan penyanyi Ruth Sahanaya, yang juga dipanggil uthe.

Akhirnya, kami pun pergi meninggalkan "Paman Ronald" menuju "Bu'de Sartiyem". Sebuah hal yang cukup kontras pikirku. Tapi tak masalah. Lebih murah makan di Warteg ketimbang di McDonalds. Warteg lebih variatif dan sehat, menurutku. Lagipula, perut kami ini perut kampung, lidah kami, ya, lidah ndeso.

"Tempat ini strategis untuk bertemu. Soalnya dekat dan biar gampang booking ke tempat futsal," ujar Arindo yang memilih McDonalds sebagai titik temu, beralasan. Letaknya sendiri memang strategis: berada di perempatan lampu merah.

Sebelum menuju Warteg, kami mampir sebentar di rumah Tigor, teman kami juga di SMA. Bersama dia, kami lalu "menyerbu" Warteg. Usai makan, kami pun langsung kembali "mengepung" rumah makan lain. Bukan untuk makan lagi tapi untuk membeli jus. Siang tadi panas sekali.

Tigor lalu mengajak kami ke berkunjung "rumah" keduanya. Letaknya tidak jauh dari rumah orang tuanya. Sekitar 50 meter. Rumah ini khusus ia sewa untuk ia jadikan tempat berkarya. Menghasilkan karya lukisan-lukisannya.

Tigor, salah seorang kawan kami ini, alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Cita-citanya sejak awal memang menjadi seorang pelukis. Ia memiliki talenta melukis yang sangat kuat. Dulu, saat di kelas ia rajin sekali melukis. Apa saja ia lukis. Dan, gambar-gambarnya sangat bagus. Tapi, dia bukanlah seorang pelukis muda "biasa". Dia seorang pelukis tuna wicara dan tuna rungu.

Rumah tersebut tidak begitu luas dan lebar, namun terasa teduh. Terbagi tiga ruangan. Di ruang depan tergeletak sebuah tempat tidur kecil dan lemari plastik. Ruang tengah ia gunakan untuk menaruh "alat-alat tempur", berikut hasil karyanya. Lalu, di ruang belakang dapur dan kamar mandi.

"Satu juta per bulan," katanya menyebut harga sewa rumah sepetak itu.

Togor, begitu biasa kusapa, lalu bercerita dan memperlihatkan kepada kami beberapa lukisan yang masih tergeletak terbungkus kertas coklat di "bengkelnya" itu. Saya sempat bertanya, kenapa lukisan-lukisan ini tidak ia jual saja ke kurator atau toko lukisan.

"Saya pernah tanya ke toko berapa harga lukisan ini. Dia hanya menawarnya 100 ribu," katanya sembari menunjukkan lukisan bergambar kembang dengan beberapa goresan warna.

Ah, yang benar saja abang toko itu hanya "menghargai" lukisan kawan saya ini hanya dengan selembar seratus ribu. Seingatku saja, beberapa tahun lalu saat ia masih kuliah sebuah lukisan karyanya pernah dibeli oleh seorang kurator seharga 500 ribu Rupiah.

Lukisan yang menggambarkan pemandangan gunung dan arwah-arwah manusia itu ia beri judul: Menunggu Awan Harapan. Aku sendiri belum memahami apa maksud dan makna di balik lukisan tersebut (menggabungkan pemandangan dan arwah dalam satu lukisan).

Melihat hasil-hasil karyanya, aku pun terdorong memintanya untuk melukis kami satu per satu. Dia sempat menolak. Alasannya capek. Mungkin karena " proyek" gratisan, he..he.. Namun, setelah kami sedikit "memaksanya" akhirnya ia mau melukis kami. Lukisan karikatur.

Satu per satu secara bergantian kami pun langsung pasang aksi, pasang gaya. Tigor cekatan menorehkan tinta di sebuah kertas putih. Tidak di atas kanvas. Christian pertama kali digambar. Lalu, Tennov pasang aksi, pasang gaya, mengikuti pose terkenal dari pemain sepak bola David Beckham.

Selanjutnya, secara berurutan aku sendiri, Donald, Arindo dan terakhir Lito. Sebagian dari kami cukup puas dengan lukisan karikatur tersebut, sebagian lainnya tidak. Ya, namanya juga gratisan.

Kemudian, setelah gambar karikatur itu selesai dibuat satu per satu dari kami membubuhkan tandatangan di bawah gambar karikatur kami masing-masing. Tennov berencana membawa pulang gambar karikatur itu. "Untuk di pajang di kamar gue," katanya sambil melipat kertas itu. Tapi, kata Tigor tidak usah dibawa, "Biar dipigura."

25 Juli 2008

Milis Marga Ambarita

Kursi batu dari zaman Megalitikum yang terdapat di Pulau Ambarita. Dahulu, lokasi ini adalah kediaman Raja Sialagan, penguasa Ambarita, dan tempat persidangan sekaligus pembantaian para penjahat.


Malam ini, saat sedang mengecek e-mail, aku melihat ada beberapa pesan elektronik masuk. Salah satunya dari Domu Damians Ambarita.

Maksud dari pesan itu, yakni mengundangku untuk bergabung ke dalam komunitas mailing list orang-orang Batak bermarga Ambarita. Aku sendiri keturunan Batak bermarga Ambarita.

E-mail undangan itu dikirim oleh sang pengelola milis,
Domu Damians Ambarita. Dia wartawan senior pada jaringan Koran Pers Daerah (Persda) milik Kelompok Kompas Gramedia.

Aku sendiri awalnya kaget mengetahui adanya keberadaan milis MargaAmbarita. Juga senang tentunya.

Perjumpaanku dengan sang pengelola milis, seperti diterangkan di dalam E-mail undangan tersebut, lewat milis Mediacare. Kemarin sore, aku memang mengirimkan sebuah tulisan ke milis tersebut.

Aku pun kemudian membuka milis yang dimaksud. Salam perkenalan pun kusampaikan kepada seluruh seluruh anggota milis.

Sejak kehadirannya tiga bulan yang lalu, sekitar 60-an orang telah terdaftar dalam keanggotaan milis. Anggota milis datang dari banyak tempat, baik di dalam maupun luar negeri, dan pelbagai latar belakang usia, profesi, dan sebagainya.

Berkumpul dalam sebuah komunitas milis yang berasal dari satu kelompok marga dari tanah Batak untuk menjalin komunikasi satu sama lain.

Karena ini merupakan milis "khusus" orang-orang Batak bermarga Ambarita, topik yang diperbincangkan pun tak jauh dari seputar "Ambarita".

Mulai dari informasi kelahiran anak, duka cita hingga Tarombo atau silsilah keluarga keturunan Raja Ambarita.

Meski demikian, topik-topik lain di luar "Ambarita" pun tersaji dalam milis ini. Seperti, kenaikan harga BBM, peristiwa penyerangan anggota FPI di Istana awal Juni lalu, maupun informasi lowongan kerja.

Kehadiran milis ini cukup bermanfaat, setidaknya bagi mereka yang sudah "melek" teknologi. Milis ini dapat menjadi jembatan komunikasi bagi orang-orang Batak bermarga Ambarita yang tinggal terpencar dimana pun mereka berada.

"Tujuan milis ini terutama untuk menjadi media komunikasi Ambarita, Boru dan Bere yang tersebar dimana pun berada," tulis pengelola milis dalam e-mail undangan.

Bagiku, keberadaan milis ini selain menjadi media komunikasi antarsesama anggota juga dapat menjadi tempat belajar lebih luas dan mendalam tentang "Batak" dan "Ambarita".

Terus terang, meskipun keturunan Batak bermarga Ambarita aku tidak tahu betul mengenai "Batak" apalagi "Ambarita". Aku dan kedua adikku lahir dan besar di Jakarta.

Selain milis, pengelola dari milis ini juga membuat
blog. Isinya, tentu saja informasi-informasi seputar marga Ambarita.

Dihadirkannya milis MargaAmbarita, menurutku adalah salah satu cara menjalin kebersamaan antarsesama marga Ambarita yang tersebar di banyak tempat. Menarik karena dikemas sesuai dengan perkembangan zaman.

Keberadaan milis ini juga menjawab filosofi kekerabatan orang Batak, yang salah satu diantaranya ialah: manat mardongan tubu. Artinya, kita harus tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

16 Juli 2008

Penyesalan dari Sang Jendral

Seorang Pemuda Timor Leste disiksa dan dibunuh oleh tentara Indonesia. Foto ini dirilis tahun 1996 oleh Jose Ramos Horta.

"Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi di masa lalu yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai menerima laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) di Bali, Selasa (15/7).

Pernyataan penyesalan Pemerintah Indonesia ini disampaikan Presiden Yudhoyono setelah menerima laporan akhir dari Ketua KKP Timor Leste, Dino Babo Soares, dan dari Indonesia, Benjamin Mangkoedilaga.

Hadir dan turut menerima laporan ini Presiden Republik Demokratik Timor Leste Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao. Sejumlah petinggi pemerintahan dari kedua negara juga hadir.

Laporan yang terdiri dari 321 halaman dan terbagi tujuh bab ini berisi laporan 20 komisioner dari kedua negara. Laporan ini hasil investigasi selama tiga tahun.

Tugas komisi yang dibentuk bersama oleh dua negara ini: Indonesia dan Timor Timur, berakhir dan akhirnya mengungkap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di Timor Timur pada masa lalu, saat dipimpin Soeharto.

Laporan yang diberi judul "Per Memoriam ad Spem" atau "Melalui Kenangan Menuju Harapan" ini menyebutkan, sepanjang tahun 1999, lebih dari 1000 orang diyakini tewas dibunuh, dan banyak orang Timor Timur lainnya disiksa, diperkosa, atau terpaksa mengungsi.

Komisi selanjutnya menyatakan: Pemerintah Indonesia, TNI dan Polri bertanggung jawab atas berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum, selama dan sesudah jajak pendapat di Timor Timur, September 1999.

Sebelumnya, selama ini Pemerintah Indonesia selalu lempar batu sembunyi tangan. Pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pada masa lalu, katanya, dilakukan secara individu, bukan institusi.

Salah satu peristiwa berdarah yang akhirnya menyedot perhatian internasional yaitu peristiwa yang terjadi pada 12 Nopember 1991. Saat itu, tentara Indonesia secara membabi buta menembaki rakyat Timor Timur yang sedang menggelar demonstrasi damai menentang 'pendudukan' tentara Indonesia di bumi Lorosae.

Diperkirakan lebih dari 400 orang tewas ditembaki dan dikubur massal di pekuburan Santa Cruz. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Peristiwa Santa Cruz.

Hanya rasa penyesalan yang disampaikan oleh Presiden Yudhoyono yang juga mantan jendral bintang empat ini, tidak akan pernah mampu untuk mengobati luka rakyat Timor Leste. Mengingat, betapa kejamnya Pemerintah Indonesia lewat TNI, Polri dan milisi bersenjata yang dibentuk oleh kedua institusi ini, terhadap rakyat Timor Timur di masa lalu.

Tanpa melanjutkannya dengan menyeret orang-orang yang diyakini kuat terlibat dalam genosida di Timor Timur ke pengadilan, keadilan bagi rakyat Timor Timur akan terus menjadi mimpi, yang sebenarnya telah mereka tunggu dan harapkan selama ini.

Kompromi politik yang diambil oleh kedua negara, yang menyatakan tidak akan melanjutkan laporan ini ke ranah hukum, tidak bisa dibenarkan.

Langkah politik yang diambil oleh kedua pemimpin dari kedua negara ini telah mengabaikan hak keadilan bagi rakyat Timor Timur. Dan itu dilakukan bukan keinginan dan atas persetujuan rakyat.

Rakyat bumi Lorosae tidak akan pernah dapat melupakan ketertindasan yang mereka alami selama berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selama tidak adanya keadilan, selama itu juga duri tajam masih akan terus tertanam di dalam raga mereka, rakyat Timor Leste. Dan itu dialami mereka hingga saat ini meski, laporan KKP yang berbuah penyesalan Presiden Yudhoyono telah disampaikan.

11 Juli 2008

Ramai-ramai Ditipu Parpol

Kampanye politik dari pasangan Achmad Heryawan dan Dede Yusuf yang diusung oleh PKS-PAN dalam Pilkada Jawa Barat 2008, di Lapangan Cingcin, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.


DI aula besar sebuah hotel internasional di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, pada pertengahan Mei silam, ratusan orang berseragam mengenakan jaket berwarna biru laut berkumpul. Mereka datang dari banyak daerah di Indonesia.

Sebuah partai berlambang matahari saat itu tengah menggelar Rapat Kerja Nasional mereka yang ke-III.

Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Sebuah acara khusus telah siap digelar di sela-sela Rakernas.

Di hadapan sang pendiri, Amien Rais dan Hatta Radjasa, kader PAN di kabinet serta pengurus DPP dan DPW, Soetrisno Bachir, sang ketua umum, mengukuhkan sekitar 30 artis ibu kota sebagai anggota partai. Para artis ibu kota ini juga langsung mendapat kartu anggota di tempat.

Penjaringan artis-artis yang dilakukan PAN ini terkait "kemenangan" salah seorang anggota partai dalam Pilkada Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Aktor Dede Yusuf, anggota partai yang sebelumnya duduk di parlemen, kini menjabat wakil gubernur Jabar, mendampingi Achmad Heryawan, gubernur yang diusung PKS.

Mas Tris, begitu ia akrab disapa dan dikenal dekat dengan banyak artis, pun masih membuka kedua tangannya lebar-lebar kepada para artis lainnya: mengajak mereka ramai-ramai masuk ke dalam partai ini.

Sang ketua yang juga pengusaha sukses ini juga menjanjikan akan memberikan "tiket gratis" menuju Senayan kepada para artis. Tak heran kemudian kalau kini PAN memiliki singkatan lain yaitu "Partai Artis Nasional" atawa "Partai Anak Nongkrong", yang dicetuskan sendiri oleh sang ketua.

Strategi Partai Golkar yang mengusung duet incumbent Ismet Iskandar-Rano Karno dalam Pilkada Tangerang dan PKS-PAN dengan Achmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar, membuat partai politik atau elit politik lainnya tertarik mengikuti jejak dari ketiga partai tersebut. Berharap mendapat kesuksesan yang sama.

PDIP, misalnya, dalam Pilkada Sumatera Selatan mengkawinkan calon mereka, Syahrial Oesman, dengan presenter kondang Helmi Yahya. Lalu, kemudian ada penyanyi dangdut Saiful Jamil yang dipinang oleh PPP untuk mendampingi calon wali kota Serang pilihan partai, Kirtam Sanjaya.

Tidak hanya partai. Para politisi yang menggunakan jalur independen pun demikian. Ikut tergiur.

Senin malam, 7 Mei lalu, disaat puluhan partai politik berharap-harap cemas mendengarkan pengumuman Ketua KPU Pusat Abdul Hafiz atas partai politik yang lolos verifikasi faktual di gedung Komisi Pemilihan Umum Pusat di Jakarta, seorang aktor diam-diam "berkunjung" ke kantor KPU Subang, Jawa Barat.

Kedatangan pemain sinetron berbadan atletis ini ke KPU bukan sebagai artis yang sengaja diundang dari Jakarta untuk "melatih" para pengurus KPU Daerah yang mungkin letih usai melakukan verifikasi faktual di Subang.

Primus Yustisio, aktor berwajah tampan ini datang dengan ditemani oleh seorang pria bernama Agus Nurani untuk mendaftarkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Subang periode mendatang. Primus dan Agus menggunakan jalur independen.

Mereka mendaftar pada menit-menit terakhir menjelang penutupan pengembalian berkas dukungan penduduk. Sebagai calon independen, aktor yang sudah laris sejak pertengahan 90'an ini datang ke KPU menyerahkan berkas pernyataan dukungan dari sekitar 56 ribu warga Subang terhadap dirinya ke KPU.

Aktor yang juga pengacara tenar, Gusti Randa, baru-baru ini juga memproklamirkan dirinya menjadi calon wakil wali kota Padang periode mendatang. Ia telah dipinang oleh Rizal Moenir, seorang anggota DPRD Sumatera Barat dari Partai Demokrat yang mencalonkan diri menjadi wali kota Padang lewat jalur independen.

Keterlibatan artis dalam kancah dunia politik sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Di era Orde Baru, sejumlah artis mulai "kelas teri" hingga "papan atas" telah "diikut-sertakan" berpolitik oleh parpol, meski tidak seramai seperti sekarang ini.

Sebut saja seperti penyanyi dangdut Rhoma Irama dan Camelia Malik, yang tidak pernah absen dalam setiap kampanye Partai Golongan Karya atau kini Partai Golkar.

Di masa Soeharto, para artis dimobilisir oleh partai politik dalam setiap kampanyenya. Partai Golongan Karya atau kini Partai Golkar yang diketahui sangat sering memanfaatkan jasa para artis untuk menarik rakyat ke panggung kampanye mereka. Melalui mereka-lah (artis, red) jualan kecap parpol laris manis tanjung kimpul.

Kaset baru lagu lama. Itu saya kira yang tepat untuk menggambarkan taktik pencitraan partai saat ini yang tengah dilanda hujatan dan caci maki dari rakyat. Dengan sedikit polesan, partai politik ramai-ramai telah menipu para artis yang sebenarnya hanya dijadikan pengumpul suara. Tidak lebih dari itu.

Rakyat sendiri juga menjadi korban penipuan partai, lewat para artis ini.

Bang Doel, Kang Dede Yusuf, ataupun artis-artis lainnya yang kini tengah dalam pinangan parpol, boleh saja membantahnya. Tapi fakta tidak bisa ditutupi. Inilah cara baru partai politik memanfaatkan ketenaran artis.

Tak percaya? Coba lihat saja, sejauh ini parpol hanya memberikan second position untuk para artis yang mereka "undang" untuk menjadi calon pemimpin daerah. Jadi, jangan bermimpi untuk melakukan perubahan!

Pendapat saya ini bukan untuk meremehkan kualitas dari para artis yang akan maju dalam Pilkada ataupun yang kini sudah menjadi pejabat pemerintah. Bukan juga ingin melarang hak orang untuk berpolitik. Setiap orang, siapa pun dia, memiliki hak politik yang sama!

Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, apakah para artis ini dapat melakukan perubahan dengan posisi mereka yang, menurut saya, sebenarnya hanya dijadikan bunga-bunga kampanye oleh partai politik saat ini?

Menurut saya, TIDAK. Sejauh ini, artis masih hanya dijadikan pemikat kumbang-kumbang (rakyat, red) dalam setiap kampanye partai politik. Jelas, partai-lah yang mendapatkan keuntungan.

Bagi partai politik, ini bagaikan sekali mendayung, dua-tiga pulau dicapai. Suara pemilih didapat, citra pun diraih dan partai tidak lagi perlu mengeluarkan biaya tambahan kampanye untuk para artis karena mereka sudah terikat dengan tanggung jawab sebagai anggota partai.

19 Juni 2008

Menanti Toga di Kepala

Hari ini, aktivitasku berada di kampus. Sejak sore aku sudah berada di kampus Universitas Prof. Dr. Moestopo (Bersenggama) eh.. (Beragama), yang berada di bilangan Senayan, Jakarta Selatan.

Rencana awal sih mau bertemu dengan (mantan) dosen pembimbing. Loh, kok mantan dosen pembimbing? Aduh, di bawah saja nanti dijelaskan, he..he..

Namun, setibanya di kampus entah kenapa aku mendadak diserang 'sakit' malas. Ah, lagipula kulihat orangnya tidak berada di ruang dosen. Setahuku juga hari ini ia tak ada jadwal mengajar.

Di ruang dosen, aku hanya bertemu dengan Pak Indiwan, koordinator bidang studi jurnalistik. "Loh, bukannya loe udah lulus? Gue pikir loe udah lulus," ujarnya saat melihatku. Aku pun hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya itu tanpa perlu kembali kujawab karena ia sendiri sebenarnya tahu kalau skripsiku belum selesai.

Oh ya, (mantan) dosen pembimbingku adalah Dr. Heri Hermawan. Dia merupakan satu dari dua dosen pembimbing dan penguji yang dianggap 'killer' oleh mahasiswa, selain Dr. Gati Gayatri. Selain, setiap skripsi yang dibimbingnya harus "sempurna" hingga akhirnya banyak mahasiswa "angkat tangan", mereka berdua ini terkenal "kejam" ketika menguji.

Lalu, kenapa aku sematkan kata 'mantan'? Nah, itu karena minggu lalu ketika bertemu di ruang sekretariat dia bilang, "Saya sudah tidak pegang bimbingan lagi. Semua sudah saya serahkan ke Pak Kusnul (Kepala Jurusan)," ujarnya yang sedang mengkopi sebuah artikel di internet.

Saat ditanya apa alasannya, "Saya capek," jawabnya singkat.

Waduh, capek? Ya, meski demikian aku tidak mau ambil pusing untuk berburuk sangka dengan alasan yang ia berikan. Pasti ada alasan lain yang tidak mau ia katakan dan aku yakin itu, bila mengingat "sepak terjangnya" di dunia persilatan, he..he.. Maksudku, kemampuannya membuat mahasiswa "angkat tangan."

Lagian, ya sudah toh aku pun memang sudah berniat mengganti pembimbing, he..he.. Pucuk di cinta ulam tiba, pikirku. Tapi, niat itu bukan karena aku takut akan tetapi karena aku sudah keburu ilfeel sama Bapak Doktor satu ini. Wong belum apa-apa sudah menjatuhkan mental mahasiswa yang dibimbingnya.

"Anda yakin mau ambil skripsi ini? Teman saya saja butuh waktu 10 tahun untuk membuat disertasinya, sama dengan teori yang kamu pakai," katanya waktu itu.

Wah Pak, masak iya skripsi mahasiswa Strata Satu disamakan dengan disertasi mahasiswa doktoral. Jujur, saat itu aku memang sedikit tersanjung tapi juga merasa bingung dan ngeper saat mendengar ucapannya itu... He..he..

Sedikit mengumbar, he..he.. Skripsiku berjudul "Ketertundukan Media Massa Atas Keinginan Pasar Pembaca. Sebuah Studi Ekonomi Politik Media Massa."

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkap peran 'pasar' pembaca yang --ternyata-- dapat menentukan isu dan isi pemberitaan di media massa. Di samping itu juga, skripsi ini ingin membuktikan bahwa di balik berita ada kepentingan ekonomi dan politik di dalamnya.

Aku sendiri mumet tapi tetap nekad untuk melanjutkan. He..he.. Pokoke, maju terus pantang mundur lah. Itu belum lagi ditambah dengan ucapan Pak Heri yang semakin membuat kepala tambah pusing tujuh keliling.

"..... Selain itu juga, pertama Anda harus baca, ya, minimal 10 buku ekonomi, 10 buku politik. Gimana, masih mau lanjut?" katanya, entah menantang atawa mau menjatuhkan mentalku. Ouww...serammm... he..he..

Ya, sudah lah jangan di bahas lagi. Kalau ini mentok aku sih sudah punya judul lain berikut bahannya. Tinggal dikerjakan. Tak..tik..tak..tik.. Mmhh.. Tapi kalau ada yang punya usulan lain dengan tema menarik, boleh.

Akhirnya, setelah membulatkan tekad untuk tidak bertemu dosen hari ini aku pun menghampiri segerombolan siberat yang sedang nongkrong di 'halte', he..he.. Maaf Bro!

Ya, sebut saja Bung Jhon dan Mandra, yang selalu beredar di kampus hanya untuk memandangi mahasiswi-mahasiswi kece tapi tidak ada follow up-nya. Selalu begitu setiap bertemu, he..he..

Kemudian, ada Fatur, mantan wartawan biro --sudah dipecat-- di sebuah harian nasional dan Aji, yang sepengetahuanku selain kuliah sidejob-nya adalah pebisnis online. Mereka adalah senior satu tingkat di atas ku dan belum lulus. Ayo, cepat lulus Kawan!

Di sela-sela bercengkerama dengan gerombolan siberat, he..he.. Maaf lagi, Bro! aku menyempatkan diri bertemu dengan Lisa, seorang perempuan aktivis pers mahasiswa Moestopo, Diamma.

Orangnya cukup cantik dan selalu mengenakan kerudung, meski menurutku itu bukan jilbab. Ya, selain ada keperluan kampus aku juga ingin menanyakan kepadanya apakah majalah mereka sudah terbit.

Lisa juga mengajakku untuk ikut acara mereka. Kalau tidak salah, acara seminar fotografi jurnalistik yang digelar di Museum Fatahillah, Jakarta. Mendadak ponselku bergetar. Ada pesan singkat masuk.

"Dmn lu? Anak2 udah pada balik. Gue udah di parkiran motor neh. Cepetan."

Ternyata dari Fatur. Akhirnya, bincang-bincang ria dengan Lisa dan seorang kawannya terhenti. Aku pun pamit kepada Lisa dan kawannya, yang juga seorang perempuan aktivis Diamma.

Ternyata benar, di pelataran parkir Fatur sudah siap dengan 'kuda besinya' yang menyala.

Seperti biasa, sebelum mencapai rumah masing-masing Fatur terlebih dahulu kuajak nongkrong di warung Nasi Kucing yang tempatnya tidak jauh dari perumahan tempat aku tinggal. Rumah Fatur sendiri di Bekasi.

"Jadi," katanya singkat sembari memencet-mencet tombol HP miliknya.

Dua 'kuda besi' milik kami pun meluncur. Jalan-jalan protokol seperti Jalan Gatot Soebroto hingga jalan non-protokol namun jalan utama, seperti Jalan Kali Malang, kami lewati. Kurang lebih satu jam kami akhirnya tiba di tempat tujuan.

Dua gelas minuman campuran teh, jahe dan susu langsung kami pesan. Dua bungkus nasi putih porsi kucing berikut dengan lauk pauk yang sederhana pun dilahap.

Hawa hangat langsung menyelimuti rongga-rongga badan setelah menyeruput minuman mix yang kami pesan. Begitu pun dengan bibir yang terasa 'terbakar' karena kepedasan melahap cabai ulek.

Meski demikian hanya ada satu kata yang dapat diucapkan, Maknyus! He..he..

Tak terasa sudah hampir tiga jam kami berada di sana. Ya, biasa lah kalo ngomong ngalor-ngidul panjang dan nggak ada habisnya. Setelah membayar, kami kembali tunggangi 'kuda besi' milik masing-masing menuju rumah dengan sebuah keinginan menggapai toga di kepala yang saat ini sedang kami perjuangkan. Penting ya? He..he.. Selamat berjuang!

17 Juni 2008

Selamat Ulang Tahun, Aunty

Mantan Presiden Ceko Vaclav Havel dan Wakil PM Alexandr Vondra bersama dengan ratusan orang berkumpul di pusat kota Praha, Ibu Kota Republik Ceko, untuk merayakan ulang tahun ke -63, ikon prodemokrasi Burma, Aung San Suu Kyi, Kamis (19/6). Perayaan seperti ini secara bersamaan juga digelar, diantaranya di New York, London, Tokyo, Korea Selatan, dan Taiwan.


63 tahun lalu, tepatnya Selasa, 19 Juni 1945, di Rangoon, Ibukota Burma, lahir seorang bayi perempuan cantik dari pasangan Aung San dan Ma Khin Kyi atau belakangan lebih dikenal Daw Khin Kyi.

Aung San adalah seorang Komandan Tentara Kemerdekaan Burma berpangkat Jendral yang kemudian menjadi Pemimpin Nasional Burma. Sedangkan Khin Kyi merupakan perawat senior di Rumah Sakit Rangoon.

Daw Aung San Suu Kyi, itulah nama yang diberikan kepada bayi itu.

Masa kecil dan remaja Suu Kyi --begitu ia disapa--, tidak seluruhnya dijalani di Burma. Tahun 1960, saat dirinya berusia 15 tahun, Suu Kyi remaja meninggalkan tanah kelahirannya menuju Delhi, India, untuk mengikuti Ibunya yang diangkat menjadi Duta Besar Burma untuk India.

Empat tahun kemudian, Suu Kyi yang telah tumbuh menjadi pemudi memutuskan terbang ke Inggris untuk kuliah di St. Hugh's College, Oxford University, Inggris. Di sana ia mengambil studi Politik dan Ekonomi. Gelar Bachelor of Art (BA) pun ia raih hanya dalam waktu dua tahun (1964-1967).

Di tahun 1969 atau dua tahun setelah menyelesaikan kuliahnya, Suu Kyi mulai bekerja sebagai seorang Penasehat Komite di kantor pusat United Nations atau Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Saat kuliah, kisah cinta Suu Kyi pun bersemi. Michael Vaillancourt Aris, seorang pemuda Inggris bergelar Ph.D atau Doktor yang bertemu dan dikenalnya saat kuliah dahulu menikahinya di tahun 1972. Dari pernikahan mereka kemudian melahirkan dua orang anak yaitu, Alexander (1973) dan Kim (1977). Keduanya lahir di Inggris.

20 tahun hidup di negeri seberang membuatnya rindu dengan tanah kelahiran. Maret 1988, bersama suami dan kedua anaknya ia pun kembali ke Burma. Namun, saat itu situasi politik di Burma tengah bergejolak karena gerakan prodemokrasi yang terdiri dari rakyat, pelajar dan mahasiswa Burma turun ke jalan meneriakkan antirezim junta militer di bawah pimpinan Jendral Ne Win.

8 Agustus 1988, rezim junta militer pimpinan Jendral Ne Win "membungkam" protes para demonstran dengan cara kekerasan. Jutaan orang tewas terbunuh. Peristiwa berdarah ini kemudian dikenang sebagai Tragedi 8888.

Kondisi penindasan dan pemiskinan serta kemudian ditambah lagi dengan peristiwa pembantaian massal terhadap rakyat Burma oleh rezim junta militer yang dilihat Suu Kyi langsung mengusik hatinya sebagai seorang anak bangsa. Itulah yang akhirnya kemudian ia bertekad untuk melakukan perubahan di Burma.

Bulan September di tahun yang sama, The National League for Democratic (NLD) didirikan, dimana ia menjabat sebagai sekretaris jendral. Sejak saat itu, sebagai seorang pimpinan partai ia pun "Turba" alias "turun ke bawah" memulai pengorganisiran dan menjalankan pendidikan politik rakyat. Tidak hanya itu, ia pun menyerukan demokrasi dan pemilu yang bebas.

Meski Jendral Ne Win menjalankan pemerintahan junta militernya dengan represif, namun Suu Kyi tak mau melawan rezim dengan cara kekerasan, meski hal itu bisa saja ia lakukan karena seluruh rakyat Burma sudah berada di belakangnya.

Ahimsa. Itulah metode perjuangan tanpa kekerasan yang ia lakukan, yang terinspirasi dari tokoh India Mahatma Gandhi dan pejuang HAM di AS, Martin Luther King.

Sepak terjangnya telah merebut hati seluruh hati rakyat Burma. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan besar Partai NLD dalam pemilu Burma pada bulan Mei di tahun 1990. 82 persen kursi di parlemen diraih oleh NLD.

Namun, rezim junta militer tidak mau terima kemenangan Partai NLD dalam pemilu. Rezim junta militer menganulir kemenangan Partai NLD dan Jendral Ne Win memerintahkan penangkapan terhadap seluruh pengurus dan anggota Partai NLD, terutama terhadap Aung San Suu Kyi yang dianggap sebagai "biang keladi".

Sejak tahun 1991, rezim junta militer menahan Suu Kyi dalam rumah tahanan. Hal itu dilakukan rezim junta militer guna melemahkan dukungan rakyat Burma dan masyarakat internasional kepada Suu Kyi. Meski kebebasannya dikekang, Suu Kyi tetap bisa menyampaikan "pesan" demokrasi dan meneruskan perjuangannya ke luar dari balik penjara.

Dalam ketertindasannya dan rakyat Burma, Suu Kyi pun menerima the 1990 Rafto Human Rights Prize (12 Oktober), the 1990 Sakharov Prize dari Parlemen Eropa (10 Juli), dan Nobel Perdamaian (14 Oktober), atas perjuangan demokrasi dan HAM yang ia lakukan di Burma.

Meski sempat dibebaskan walau kemudian dipenjarakan kembali oleh junta militer --bahkan hingga saat ini--, Suu Kyi tetap tidak bisa bebas melakukan aktivitas di tanah air sendiri. Setiap langkahnya selalu dicurigai dan dibatasi oleh rezim junta militer.

Begitupun saat suaminya, Michael Aris, yang sejak tahun 1995 tidak pernah lagi ditemuinya karena dilarang oleh rezim junta militer, meninggal pada Maret 1999 lalu karena mengidap kanker prostat. Kalau pun, Suu Kyi memaksa untuk pergi ke Inggris --tempat suami dan kedua anaknya tinggal-- sudah dapat dipastikan ia tidak akan dapat kembali ke Burma, tanah air yang sangat dicintainya.

Penderitaan yang dirasakan, disadari olehnya memang adalah sebuah konsekuensi dari sebuah keyakinan atas perjuangan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia. Begitupun dengan ratusan orang yang hingga saat ini masih berada di dalam penjara-penjara negara sebagai tahanan dan narapidana politik.

Setiap perjuangan pasti ada sebuah pesan di dalamnya. Begitu pun dengan perjuangan yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi dan seluruh rakyat Burma, yaitu bahwa rakyat Burma sudah tidak tahan hidup di bawah kepemimpinan rezim junta militer saat ini. Hidup dalam pemiskinan, penghisapan dan penindasan oleh negara. Para pejabat pemerintahan kaya raya dan rakyatnya hidup dalam penderitaan.

Selamat ulang tahun, Aunty Suu. Keep on fighting for democracy!

16 Juni 2008

Ahmadiyah, Munarman, dan Negara yang Lemah


Berikut adalah pendapat SCTV, dalam hal ini Liputan 6 SCTV, menyikapi kasus Ahmadiyah, khususnya pada terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait Ahmadiyah dan kemunculan Panglima Laskar Pembela Islam Munarman di Polda Metro Jaya, setelah enam hari lamanya bersembunyi dan menjadi buronan polisi.

Sikap SCTV ini ditulis oleh Kepala Produksi Berita Liputan 6, Rahman Andi Mangussara, dalam Catatan Produser.


Luar biasa! Munarman mendadak sontak jadi pahlawan, setelah sebelumnya ia dinilai sebagai pecundang karena membiarkan anak buahnya ditangkap polisi sementara ia menghilang.

Inilah drama penobatan kepahlawanan Munarman itu: hanya dalam hitungan jam setelah Menteri Agama mengumumkan pelarangan Ahmadiyah, Munarman muncul di Polda Metro Jaya. Maka, apa boleh buat, saat itu ia langsung dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai pahlawan yang membuat lahirnya surat keputusan bersama tiga menteri itu. Kepada pers yang mencegatnya, sebelum masuk ke Polda Metro Jaya, Munarman dengan tegas mengatakan, "Saya menepati janji. Saya bukan pengecut." Kata pengecut ia ulangi beberapa kali untuk memberi tekanan.

Apa pun penilaian lawan-lawannya, harus diakui Munarwanlah pemenang dalam pertarungan melawan negara (pemerintah). Lihatlah bagaimana ia menekan pemerintah: "Setelah pemerintah membubarkan Ahmadiyah, baru tangkap saya, Munarman, sarjana hukum." Ia ucapkan tantangannya itu sehari setelah ia memimpin ratusan orang menyerang secara fisik lawan-lawannya di Monas. Apa yang terjadi, polisi gagal menangkapnya sekalipun puluhan anak buahnya sudah ditangkap dan dijadikan tersangka. Eh, ia tiba-tiba menyerahkan diri di Polda setelah pemerintah mengumumkan pelarangan Ahmadiyah.

Ini ironis. Munarman muncul sebagai pahlawan bukan karena kehebatannya, melainkan karena pemerintah sendiri yang membuatnya jadi pahlawan. Semua itu terjadi karena pemerintah yang lemah dan peragu. Lemah karena secara kasat mata kita menyaksikan bagaimana pemerintah (negara) tunduk pada tekanan Munarman dan kelompoknya. Peragu karena masalah Ahmadiyah ini dibahas berlama-lama tanpa satu keputusan yang pada akhirnya toh mereka putuskan juga mengikuti tekanan publik. Pernyataan Presiden bahwa negara tidak boleh kalah, yang ia lontarkan dalam jumpa pers khusus menanggapi kekerasan yang dilakukan Munarman dan kelompoknya, justru memperlihatkan sebaliknya.

Kita mungkin belum masuk kategori sebagai negara gagal, di mana salah satu indikatornya adalah tidak ada jaminan hukum dan ketertiban, tapi negeri ini sudah pasti bisa dikatakan sebagai negara lemah---ya, selemah-lemahnya negara. Pemerintah bisa didikte, lamban, peragu, dan hukum hanya ditegakkan kepada mereka yang tidak punya kelompok atau tidak punya kekuatan politik.

Dalam konteks ini pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pemerintah tidak bisa bekerja dengan fokus karena setiap hari didemo, dikritik, dicaci-maki, dituding dan tentu saja ditekan, menjadi tidak bermakna. "Presiden tidak bisa berpikir karena setiap hari dikasih mike (pengeras suara) ke arah Istana," ujarnya pada suatu acara yang dihadiri kader-kader Golkar.

Bagi kita, soalnya bukan pada apakah ada demo setiap hari di depan Istana Presiden atau tidak, bukan pula apakah lawan-lawan politik pemerintah setiap hari berkoar-koar atau hanya diam, melainkan apakah pemerintah kuat atau tidak, apakah pemerintah bisa menandingi kekuatan lawan atau tidak. Dalam banyak hal, bisa dikatakan, pemerintah kalah dengan kelompok penekan itu.

Francis Fukuyama sudah lama menyarankan bahwa masa di mana kelompok-kelompok penekan di dalam masyarakat makin kuat, pemerintah tidak boleh lemah. Hanya dengan pemerintah yang kuat, demokrasi bisa berjalan.

Mati Lampu dan Ahmadiyah

"Ma, listrik udah hidup ya," tanyaku pada Mama yang sedang membaca koran di depan pintu rumah.

"Ya sudah," jawabnya singkat.

Ahh.. akhirnya listrik hidup kembali, gumam saya. Saya pun kembali dapat hidup, he..he.. Sejak pagi tadi listrik di rumah dan di sekitar tempat tinggal saya memang padam. Listrik baru kembali menyala sekitar jam 12.30 Wib, setelah sekitar lima jam lamanya dipadamkan PLN.

Padamnya listrik sejak tadi pagi memang membuatku benar-benar bingung mau melakukan apa. Dasar anak kota, ha..ha.. Hanya koran yang kupegang sejak pagi tadi. Itu pun, dari serentetan berita yang tersaji di koran hari ini hanya beberapa saja yang kubaca, selebihnya tidak.

Padamnya lampu hari ini memang bukan kali pertama. Ini sudah kesekian kalinya terjadi, menurut Mama saya, yang memang lebih sering di rumah ketimbang anggota keluarga lainnya.

Keluargaku memang bukan satu-satunya "korban" PLN. Masih ada jutaan bahkan puluhan juta keluarga Indonesia lainnya yang juga menjadi "korban" PLN, walaupun sudah berusaha menjadi pelanggan setia PLN yang taat membayar tagihan tepat waktu dan melakukan saran PLN untuk berhemat listrik.

Aku pun tak mau berlama-lama mengeluh dan menggerutu terhadap kinerja PLN, seperti yang biasa dilakukan Mama atau kebanyakan orang ketika listrik padam. Lebih baik langsung demonstrasi ke kantor pusat PLN atau kalau perlu boikot aset-aset PLN sekalian.

Aku pun langsung menuju meja komputer. Dazz.. sekitar 10 menit kemudian komputer pun menyala dan langsung terkoneksi. Memang agak sedikit lama kutunggu. Ya, maklum lah umur komputer ini sudah tahunan, he..he..

Tanganku langsung bergerak di atas papan ketik komputer (keyboard) memerintahkan "sahabatku" ini agar terkoneksi ke YahooMail. Setelah terbuka, kulihat di dalam Inbox hanya baru ada dua pesan elektronik saja yang masuk, yaitu dari milis MediaCare dan kantor berita Antara, yang isinya berita-berita pilihan dari dalam negeri maupun mancanegara.

Setelah melihat e-mail Antara, selanjutnya aku membuka e-mail dari milis MediaCare. Sejumlah postingan di milis yang tersaji masih sama seperti kemarin. Bosan karena tidak ada postingan baru yang ditampilkan.

Namun, sebelum menutup e-mail dari MediaCare Mouse kuarahkan ke bawah. Ahh.. ternyata ada postingan yang belum kubaca rupanya. Judulnya cukup menarik perhatianku: Ormas Islam, Polisi & Wartawan Terlibat Penganiayaan Ahmadiyah?, yang diposting oleh wirajhana_eka, hari Minggu kemarin jam 15.48 Wib.

Di dalam postingan itu tertulis, "ternyata benar polisi di barisan depan mengawal penganiaya. Ternyata benar, wartawan kita berhasil ditakuti-takuti dan ini bukti kebebasan pers sudah hilang dari bumi Indonesia." Kemudian, sebagai penguat tulisan si penulis posting tersebut mengajak pembaca untuk menonton tayangan video yang diposting di YouTube.

Saya pun penasaran ingin melihatnya. Setelah kubuka, muncul lah tayangan yang dimaksud si penulis posting tadi. Judulnya: Penganiayaan Terhadap Jamaat Ahmadiyah di Indonesia #3, dengan durasi 07 menit 36 detik yang diposting dengan nickname danialanwar pada 12 Februari 2008.

Pada awal tayangan, seorang narator bercerita tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Kabupaten Bogor, yang meminta perlindungan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat, khususnya kepada aparat kepolisian, karena merasa terancam oleh aksi-aksi segerombolan orang yang mengancam akan melakukan tindakan-tindakan keras terhadap jemaat Ahmadiyah.

Namun ironisnya, dikatakan narator, Pemkab Bogor yang seharus melindungi setiap warganya dari segala ancaman justru menerbitkan Surat Pernyataan Bersama, yang ditanda tangani oleh seluruh jajaran Pemkab Bogor, yang berisi larangan JAI melakukan kegiatan di seluruh Kabupaten Bogor.

VT atau video tape saat narasi itu berlangsung memperlihatkan Surat Pernyataan Bersama itu ditempel bersama dengan garis polisi (police line) di pagar Kompleks Kampus Mubarak, markas pusat JAI di Bogor. Dan, selanjutnya pada VT itu terlihat belasan aparat Trantib atau Pamong Praja Kabupaten Bogor merobohkan papan nama JAI. Cuplikan tayangan ini sepertinya milik salah satu stasiun TV yang diambil pada 15 Juli 2005.

Selanjutnya, pada tayangan ini terlihat dan terdengar seorang pengurus JAI sedang beradu argumentasi dengan salah seorang pejabat Pemkab Bogor yang memaksa keluar seluruh warga JAI dari Komplek Kampus Mubarak.

"......... aparat (seharusnya) negara tahu menempatkan porsi. Ini, kan, rumah kami. Jadi bagaimana mungkin kami mengosongkan rumah kami," ujar pengurus JAI dari balik pagar yang tertutup kepada pejabat Pemkab Bogor itu. Keduanya sama-sama mengenakan peci hitam.

"Kami minta dilindungi. Ini rumah kami," katanya lebih lanjut kepada pejabat itu.

Namun sangat disesalkan, seorang pejabat Pemkab Bogor itu menjawabnya dengan, "Bapak tahu suasana di luar sudah seperti apa?" katanya sambil menunjuk ke arah gerombolan orang yang siap menyerbu "rumah" warga JAI.

"Kami sudah menyatakan, kami tidak sanggup mengamankan Bapak di dalam sini. Artinya, Bapak (dan warga JAI) harus segera keluar" kata pejabat itu lebih lanjut dengan nada tinggi.

Melihat tayangan dan mendengar pernyataan pejabat Pemkab Bogor dalam tayangan ini sungguh sangat memalukan. Negara (pemerintah) yang seharusnya melindungi setiap warganya tanpa terkecuali, yang merasa kehidupannya terancam oleh kelompok lain, dan berdiri netral menegakkan hukum dan keadilan di atas kedua kelompok tersebut justru berpihak kepada salah satu kelompok.

Kasus Ahmadiyah dan keberpihakan negara (pemerintah) terhadap salah satu kelompok dan bahkan cenderung ikut serta "menyerang" Ahmadiyah, menuai protes dan kecaman dari banyak tokoh nasional. Hal itu diantaranya dihadirkan dalam tayangan ini.

"Padahal Ahmadiyah sendiri itu mengaku Islam dan menjalankan syariat Islam sebagaimana yang lain-lain (umat Islam). Tapi dilarang untuk menjalankan ibadah menurut keyakinannya," kata Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau disapa Gus Dur, seperti biasa tak kalah keras melontarkan kecaman terhadap negara (pemerintah) dan kelompok-kelompok yang selalu memaksakan keinginannya melalui kekerasan agar Ahmadiyah dibubarkan.

"Saya menolak sekeras-kerasnya sikap seperti itu. Ini bukan negara Islam (tapi) negara nasional," tegas Gus Dur.

Dalam tayangan ini juga dikatakan, pemberitaan mengenai Ahmadiyah di media massa mainstream cenderung berpihak kepada segelintir kelompok yang selama ini getol menginginkan Ahmadiyah dibubarkan. Narator dalam tayangan ini juga mengatakan, diduga media massa tengah mendapat tekanan dan intimidasi dari sejumlah kelompok tersebut.

"Kepada seluruh wartawan saya ingatkan (agar wartawan tidak berpihak kepada Ahmadiyah). Saya lagi saya perhatikan, seandainya ada berita yang salah berarti wartawannya, wartawan pro-Ahmadiyah," kata Habib Abdurrahman Bin Ismail Assegaf, dengan menggunakan pengeras suara dari atas mobil pick up hitam, saat memimpin penyerbuan ke markas pusat JAI di Kompleks Kampus Mubarak, Bogor, beberapa waktu lalu.

Yang sangat disesalkan, di dalam tayangan ini terekam satu unit mobil patroli polisi lalu lintas berada di barisan paling depan massa penyerbu dan digunakan untuk membawa orang-orang yang hendak menyerbu markas pusat JAI. Bahkan, Habib Abdurrahman berorasi secara bebas di atas mobil polisi ini.

Tak berdayanya aparat polisi terhadap kelompok-kelompok penyerbu markas pusat JAI juga terlihat dalam rekaman ini.

"Tidak ada polisi yang bisa menangkap pemimpin-pemimpin kita. Kalau ada aparat menangkap komando-komando pimpinan hari ini, umat harus maju, umat harus lawan," kata seorang penyerbu yang mengatakan hal itu dari atas mobil patroli polisi.

Dalam rekaman ini juga memperlihatkan, Habib Abdurrahman sedang duduk santai sambil merokok di dalam mobil patroli polisi. Duuh..enaknya.

Padamnya lampu pada hari ini memberi tanda dan arti bagiku bahwa telah padamnya lampu keadilan dan kebebasan beragama di Indonesia, yang padam dan tak bepijar karena negara (pemerintah) tidak dapat memberikan keadilan demokrasi dan HAM kepada rakyatnya.

08 Juni 2008

Bang Barry dan Paman Sam


Selasa (3/6) malam lalu atau Rabu waktu Indonesia, arena Hoki di St. Paul, Minnesota, Amerika Serikat, bergema oleh teriak gemuruh sekitar 30 ribu orang yang memenuhi tempat itu untuk merayakan "kemenangan" calon presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama.

Senator asal negara bagian Illinois ini mendulang suara terbanyak dari para delegasi super yang berakhir di dua kota, Montana dan South Dakota. Obama mendapat 2.156 suara sedangkan Hillary Rodham Clinton, pesaingnya di Partai Demokrat, memperoleh 1.993 suara.

"Amerika, inilah saat kita. Ini adalah waktu kita. Waktu kita untuk berpaling dari kebijakan-kebijakan masa lalu ........ Saat kita untuk memberikan satu arahan baru bagi negara yang kita cintai," kata Obama di hadapan para pendukungnya malam itu.

Ya, "kemenangan" Obama ini akhirnya menjadikannya sebagai Capres resmi dari Partai Demokrat yang akan melawan Capres dari Partai Republik, senator asal Arizona John McCain, dalam pemilu AS mendatang.

Sejak memproklamirkan niatnya untuk menjadi Presiden AS, Obama langsung menjadi pusat perhatian diantara Capres-capres lainnya, baik dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Tidak hanya rakyat AS, para pengamat dan masyarakat internasional pun turut mengamati Capres AS pertama berkulit gelap ini.

Bukan hanya karena soal perbedaan fisik yang membuatnya mendapat tempat "lebih" di mata dunia, terutama dari rakyat AS, ketimbang Capres-capres lainnya dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Tetapi, yang utama adalah janji perubahan yang dihembuskan dalam kampanyenya.

Change. We Can Believe In. Begitu slogannya.

Sosok Obama yang meluncur ke pentas politik nasional AS tidak hanya mewabah di negara Paman Sam saja, tetapi juga menyebar hingga ke banyak negara. Jepang dan Indonesia, misalnya.

Masyarakat di kota Obama, sebuah kota kecil yang terletak di bagian Barat Jepang ini, turut terjangkit "virus" Obama, Capres AS dari Partai Demokrat yang tengah berebut kursi Presiden AS ke-44 itu. Kota "Obama" yang bertepian pantai ini penuh dihiasi dengan gambar Obama. Mulai dari souvenir, t-shirt hingga sumpit.

Indonesia tak turut ketinggalan. Meski tidak "segila" kota Obama, di Jakarta Obama fans club dibentuk awal Maret lalu oleh sejumlah kawan lama Obama ketika bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 01, Jl. Besuki, Menteng, Jakarta Pusat, di tahun 1972. Dulu, kawan bule satu ini mereka panggil Barry.

Ya. Itulah Obama, dengan "virusnya" yang tengah menjangkiti rakyat AS dan masyarakat internasional, walaupun tak keseluruhan.

Namun demikian, dibalik "kemenangan" Obama yang datang dari perbedaan warna kulit, "mantra" pidato yang, katanya, telah membuat rakyat AS terhipnotis dan perubahan yang dijanjikannya, ada hal lain yang lebih penting yang juga perlu dicermati.

Apakah nantinya jika Obama menang dalam Pemilu AS mendatang dan akhirnya menjadi Presiden AS ke-44, kebijakan AS, terutama kebijakan luar negeri AS akan berubah di tangannya? Meskipun dalam setiap pidatonya, bahkan pidato "kemenangan" di St. Paul kemarin, menyampaikan kata "perubahan".

Menurut saya, kebijakan AS, terutama kebijakan luar negerinya belum tentu berubah meskipun berada di tangan Obama. Bagaimana pun, watak dari pemerintah AS yang salah satunya doyan menaruh "taring" di negara lain sudah berurat akar. Mungkin sudah terpatri di hampir kebanyakan para pejabat dan politisi AS.

Walaupun, Obama saat ini terlihat di mata publik sebagai satu-satunya Capres AS dalam pemilu kali ini yang berasal dari kalangan minoritas di masyarakat AS, atau bahkan dapat "akrab" dengan "musuh-musuh" AS selama ini, tetap saja bagi saya itu belum bisa dijadikan jaminan akan lahirnya perubahan atas arah kebijakan AS, terutama kebijakan luar negerinya, di masa kepemimpinan Obama nantinya jika terpilih.

Mau dan beranikah Obama, jika nantinya terpilih menjadi Presiden AS menarik seluruh pasukan AS yang dikirim oleh Presiden George W. Bush menginvasi Afghanistan dan Irak? Dan, Obama mau mengembalikan seluruh aset-aset dari negara lain yang dirampas dihisap (hingga saat ini) oleh pemimpin-pemimpin AS sebelumnya atas kendali para "drakula" kapitalis?

Dua hal ini pun belum tentu mau dan berani dilakukan Obama. Sampai sekarang hanya ada dua kekuatan besar di dunia yang membuat AS paranoid yaitu komunis dan Islam. AS memusuhi keduanya dan selama ini getol menghancurkannya. Pascasoviet, sekarang ini hanya Islam kekuatan yang mampu membuat AS "panas-dingin".

Kita, masyarakat internasional, tidak peduli siapa orangnya dan darimana asalnya. Siapa pun presidennya jika antiHAM dan antidemokrasi, lawan!

07 Juni 2008

Negara Tidak Boleh Kalah, tapi....


"Saya minta hukum ditegakkan, pelaku-pelaku diproses secara hukum dan berikan sanksi hukum secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Senin (2/6/2008).

Pernyataan itu disampaikan Presiden satu hari setelah peristiwa penyerangan anggota Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Silang Monas, Jakarta, Minggu (1/6/2008).

Membaca pernyataan Presiden Yudhoyono yang menyikapi peristiwa berdarah di Monas sungguh sangat aneh, bahkan lucu. Sekilas memang, tampak ketegasan pemerintah terhadap pelaku-pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM dan upaya untuk menegakkan hukum di Indonesia.

Namun, menurut saya pernyataan presiden tidak akan berarti apa-apa dan hanya akan menjadi pernyataan "sampah" jika negara (pemerintah) tidak mengambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok fasis berkedok aliran yang hidup dan berkembang biak di Indonesia.

Peristiwa berdarah di Monas adalah buah akibat pembiaran negara (pemerintah) terhadap sepak terjang dan berkembangnya kelompok-kelompok fasis berkedok aliran, yang diantaranya seperti FPI, di Indonesia selama ini. Padahal, setiap aksinya selalu menerabas pagar hukum, mengancam kerukunan beragama dan merampas hak-hak warga negara lainnya.

Peristiwa berdarah seperti yang terjadi di Monas, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fasis berkedok aliran, bukanlah yang kali pertama terjadi. Sebelumnya, sudah ada serentetan peristiwa lainnya yang sama terjadi namun oleh aparat penegak hukum tidak pernah mendapatkan ganjaran hukum.

Tidak adanya aparat polisi saat peristiwa berdarah di Monas terjadi dan adanya pernyataan dari Polri bahwa peristiwa itu terjadi juga karena pihak AKKBB tidak pernah berkoordinasi dengan kepolisian semakin kuat menunjukkan bahwa negara (pemerintah) memang melakukan pembiaran.

Negara tidak boleh kalah dari para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM, saya setuju. Namun, bila keberadaan kelompok-kelompok fasis berkedok aliran tertentu masih tetap dibiarkan "hidup" pascaperistiwa ini negara bukan saja (terus) kalah berhadapan dengan para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM, tetapi juga rakyat juga akan semakin terancam hidupnya.

Negara tidak boleh kalah tapi negara juga tidak boleh melakukan pembiaran, baik terhadap "hidup" dan berkembangnya kelompok-kelompok fasis berkedok aliran seperti FPI, maupun terjadinya aksi-aksi brutal yang dilakukan para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM di Indonesia.

Negara (juga) tidak boleh kalah menghadapi para pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM. Jangan hanya menangkap dan mengadili pelaku, tapi juga tangkap dan adili "sutradara" dibalik skenario kekerasan dan pelanggaran HAM. Namun, bila ini juga tidak dilakukan negara pasti akan kalah......