19 Maret 2009

Parade Penganggur

Pemilu 2009 tinggal hitungan minggu saja. Para elite dan partai politik pun sibuk berpawai, berkampanye. Namun, tidak bagi rakyat yang justru tengah gemetar dan cemas menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Tahun ini, bangsa Indonesia bakal menyaksikan parade para penganggur.

Sebenarnya, sudah sejak tahun lalu jutaan rakyat pekerja dari berbagai sektor di tanah air divonis PHK. Vonis itu sendiri datang dari pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS), yang memperkirakan sebanyak 3 juta buruh terkena di-PHK hingga pertengahan tahun 2009 (Kompas.com, 2/12/2008). Gelombang PHK itu sendiri akan berlangsung hingga sepanjang tahun ini, melanjutkan gelombang PHK massal pada tahun sebelumnya yang sudah terjadi.

Jumlah PHK buruh yang dirilis oleh BPS akhir tahun lalu itu belum final, jika mengingat krisis keuangan dan global yang ikut menghantam Indonesia tak juga kunjung menunjukkan perbaikan. Hingga 27 Februari lalu saja, sebanyak 37.905 buruh telah di-PHK (Kompas, 6/3). Jumlah itu belum termasuk dengan ribuan buruh kontrak lainnya yang sudah dirumahkan.

Jumlah itu masih akan ditambah dengan jumlah buruh migran Indonesia (TKI) di luar negeri yang pada tahun ini kembali ke tanah air karena di-PHK. Diperkirakan, sekitar 600 ribu buruh migran Indonesia di-PHK dari beberapa negara tujuan pengiriman, salah satunya dari Malaysia.

Bahkan, organisasi Buruh Sedunia akhir Januari lalu juga telah mengingatkan kepada pemerintah dari negara-negara yang terkena dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama dari negara-negara berkembang yang rentan krisis seperti Indonesia, bahwa sekitar 50 juta pekerja akan di-PHK jika mereka tidak juga merancang strategi penyelamatan ekonomi dan cepat menjalankannya. (Kompas, 29/1).

Tidak Berpihak

Namun ironisnya, di tengah gelombang PHK yang menghantam kehidupan rakyat yang sudah sengsara, tidak ada satupun dari elite politik yang maju dalam Pemilu 2009 berpikir dan bertindak bagaimana menyelesaikan persoalan gelombang PHK massal, serta memiliki program-program ekonomi kerakyatan untuk dijalankan setelah Pemilu usai.

Para elite politik justru lebih memilih “bekerja” mempersolek diri agar mendapat banyak suara pemilih dalam Pemilu mendatang. Mereka lebih menyibukkan diri dengan urusan kampanye, meminang dan melirak-lirik tokoh yang dianggap potensial mendulang banyak suara dalam Pemilu, saling melempar dan membalas kritik, dan melancarkan manuver-manuver politik lainnya.

Tak juga ketinggalan dengan partai-partai politik yang bersiap memosisikan diri menjadi gerbong pendukung dari salah satu calon yang maju pada Pemilu Presiden mendatang.

Partai-partai politik lebih senang mengumbar janji-janji kosong ke rakyat lewat media massa, ketimbang menawarkan program-program partai yang nantinya dapat mengangkat kehidupan rakyat keluar dari jurang kemiskinan jika terpilih oleh suara mayoritas rakyat dalam Pemilu mendatang.

Partai-partai politik juga lebih menghamba kepada pengusaha ketimbang buruh. Tengok saja kehadiran enam parpol besar yang berpengaruh di dewan legislatif saat ini, dalam acara bertajuk “Pengusaha Bertanya, Parpol Menjawab”, yang digelar oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia, Februari lalu.

Kesanggupan enam partai politik besar hadir dalam acara itu, yang dipimpin langsung oleh ketua umumnya masing-masing, untuk menyampaikan visi dan misi ekonomi partai yang sejalan dengan kepentingan pengusaha Indonesia, menunjukkan ketertundukan partai politik terhadap pemodal.

Mari kita berandai-andai, bagaimana jika buruh yang menggelar acara yang sama dengan tajuk “Buruh Menggugat, Parpol Menjawab”. Apakah ada partai politik berikut ketua umumnya mau hadir untuk menjawab gugatan dari para buruh yang teraniaya, dan melakukan kontrak politik sesuai dengan kepentingan para buruh?

Demokrasi Terancam

Melihat perilaku para elite politik dan partai politik yang lebih sibuk “bekerja” untuk diri sendiri dan kelompoknya, ketimbang memikirkan nasib rakyat yang sudah sekarat menimbulkan kekhawatiran akan nasib demokrasi di Indonesia usai pemilu.

Hal itu terlihat dari semakin menguatnya ketidakpercayaan rakyat pemilih datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya pada Pemilu 2009, yang menurut hasil survey dari berbagai macam lembaga independen jumlah golput pada pemilu 2009 akan meningkat tajam dibanding pemilu 2004.

Itu berarti, ancaman sesungguhnya pada Pemilu 2009 bukanlah yang seperti didengungkan oleh para petinggi Polri dan TNI atau pejabat pemerintahan, yang mengatakan Pemilu 2009 rawan konflik. Ancaman sebenarnya dari Pemilu 2009 adalah kembali tidak akan lahirnya pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat dan mampu membuat perubahan ke arah yang lebih sejahtera.

Sebelum rakyat ramai-ramai menghukum para elite politik dan partai politik dalam Pemilu nanti, dengan tidak datang ke tempat pemungutan suara, mari kita bersama-sama senandungkan lagu “Jangan Bicara” dari Iwan Fals.

Jangan bicara soal kemakmuran/Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan/Lihat di sana si Urip meratap di teras marmer direktur murtat/… Lihat di sana parade penganggur yang tampak murung di tepi kubur/Lihat di sana antrian pencuri yang timbul sebab nasinya dicuri.

Kesengsaraan rakyat bukan lagi sebuah ancaman. Puluhan ribu buruh sudah di-PHK, dan puluhan bahkan jutaan buruh lainnya tinggal menunggu waktu saja untuk di-PHK. Parade penganggur pun siap digelar.