22 Juni 2011

Memoar dari Para Sahabat

...Kita masing-masing harus belajar saling mengambil serta memberi, menunjukkan harmoni dalam banyak hal. Jika satu pihak saja hendak melaksanakan kemauannya secara keras, maka satu ketika akan terjadi konflik.

Jakarta, 1 Oktober 1946


Selarik kalimat tertoreh dalam satu surat yang ditulis oleh Rosihan Anwar dari Jakarta dengan penuh rasa kerinduan yang terpendam kepada tunangannya, Zuraida Sanawi, yang sedang berada di Yogyakarta.

Mungkin surat itu adalah korespondensi yang kesekian kalinya dilakukan antara dua insan manusia yang sedang jatuh dalam romantika cinta dan perjuangan dalam balutan suasana revolusi di Indonesia, sepanjang tahun 1946-1947.

"Romantika mereka adalah romatika perjuangan," kenang Toety Heraty Noerhadi-Roosseno, saat peluncuran buku yang merupakan karya terakhir Rosihan Anwar, "Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi", di Jakarta, Mei lalu.

Toety memandang, jalinan cinta yang dibangun Rosihan dan Zuraida sebagai revolusi. Disebut revolusi bukan karena hubungan itu terjalin pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan. Namun karena keputusan mereka melawan tradisi perjodohan yang ketika itu begitu lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. "Itu sudah revolusi," ujar guru besar filsafat ini.

Rosihan, kata Toety, kritis, jujur dan sederhana. Sedangkan Ida--begitu Zuraida disapa--perempuan yang ditemui Rosihan pertama kali di kantor redaksi harian Asia Raja adalah sosok yang lembut, namun tegar dan tegas. Terkadang, kata Toety, saking yakin terhadap sesuatu Rosihan tampak angkuh.

Meski demikian, Toety mengatakan, "keangkuhan" Rosihan sirna saat berhadapan dengan Zuraida, perempuan yang menerima curahan kalbunya di atas becak dalam cahaya yang temaram. Suatu ketika, Toety bercerita, Rosihan ditawarkan posisi duta besar di Vietnam oleh Presiden Soeharto. Namun, tawaran itu ditolak Rosihan. Itu terjadi sekitar tahun 70-an.

Konon, selain tersembunyi makna politik di balik penolakan itu, sosok Zuraida turut berperan besar menghentikan langkah Rosihan terbang ke Hanoi, Vietnam. "Nee, jeet gaat niet. Tidak, kau tidak pergi," jawab Zuraida dalam bahasa Belanda kepada Rosihan.

Putri bungsu proklamator M Hatta, Halida Nuriah Hatta, turut merasakan cinta yang sangat besar antara Rosihan dan Zuraida. Saat berjalan dengan Zuraida, kata Halida, Rosihan selalu terlihat menggandeng tangan istrinya itu.

Halida melihat prinsip asah, asih, asuh diterapkan dalam hubungan mereka. "Begitu manisnya om Rosihan," kenang Halida yang memanggil Rosihan dan Zuraida dengan sebutan "om" dan "tante". Hal serupa dirasakan Fadli Zon, politikus muda di Partai Gerindra, yang mengaku mendapat keistimewaan bisa berkenalan dengan Rosihan.

Fadli berjumpa Rosihan pada September 2010, ketika hendak mengambil mesin tik kuno milik Rosihan yang diberikan kepada dirinya, karena sang wartawan lima zaman itu mulai diajari cucunya menggunakan komputer.

"Fadli, kamu tahu istri saya itu rose from Batavia," kenang Fadli mengingat apa yang disampaikan Rosihan tentang sang istri saat berjumpa dengan dirinya pada waktu itu. Rosihan benar, Zuraida memang cantik bagai bunga.

Pemimpin Umum harian Kompas Jakob Oetama juga memiliki kenangan dengan Rosihan. Dia mengaku banyak belajar dari Rosihan yang usianya lebih tua sembilan tahun. Ilmu jurnalistik, ia pelajari dari sejumlah wartawan senior, di antaranya Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar.

Jakob mengatakan, kedekatan antara dirinya dengan Rosihan bukan hanya tergambar seperti hubungan guru dan murid. "Saya dekat dengan beliau secara ideologi," ujar Jakob yang sejak muda mengaku telah menjadi penganut Sutan Sjahrir, tokoh sosialis di Indonesia.

Rosihan, kata Jakob, pernah mengatakan kepada dirinya: melakukan sesuatu jangan pernah setengah-setengah. Jadi wartawan pun jangan setengah-setengah. Selain ilmu jurnalistik, Jakob mengaku juga banyak belajar soal sikap dan pandangan hidup dari Rosihan.

Sementara itu, Adnan Buyung Nasution menempatkan Rosihan dalam figur Ayah. "Saya kenal beliau saat berusia 10 tahun," ujar pria berambut perak yang sekarang berprofesi sebagai pengacara. Adnan Buyung mengenal Rosihan ketika ayahnya, R Rachmat Nasution, memimpin kantor beritaDomei. Rosihan memanggilnya si Buyung Kecil.

Konsisten dan selalu memberi semangat kepada setiap orang adalah sikap Rosihan yang selalu dikenang oleh Adnan Buyung. Dalam menyampaikan sesuatu, kata Adnan Buyung, "Beliau (Rosihan) menyampaikannya berbeda,".

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, kata Adnan Buyung, berbeda saat menyampaikan sesuatu. "Mochtar Lubis lebih konfrontatif, menyerang langsung. Sedangkan, Rosihan menyampaikan dengan cara yang manis."

Di antara para sahabat, mungkin hanya Daniel Dhakidae yang memulai perkenalan dengan Rosihan agak kurang "manis". "Perkenalan kami lebih saklek," ujar doktor politik ini. Ketika itu, kata Daniel, ia hendak menyelesaikan disertasi soal pers di Indonesia.

Sebagai wartawan senior, kata dia, Rosihan akan dijadikan narasumber untuk disertasinya. Namun, hingga disertasi hampir selesai ditulis Rosihan selalu mengelak. "Akhirnya, saya kirim surat dan saya tulis di surat itu: 'Pak Rosihan, saya akan tetap menyelesaikan disertasi ini, dengan atau tanpa Pak Rosihan'." Rosihan pun bersedia bicara dengan Daniel.

Keluarga dan sahabat banyak melihat ada perubahan drastis dari diri Rosihan sejak ditinggal pergi Zuraida, teman hidupnya selama 36 tahun pada 5 September 2010. "Ia menjadi enggan menulis," ujar Omar Lutfi Anwar, putra kedua Rosihan.

Belum genap setahun, 14 April 2011, Rosihan kemudian menyusul sang belahan jiwanya. "Saya merasa ada satu kehampaan," ujar Halida yang kerap melihat Rosihan semasa hidup berjalan kaki melewati depan kediaman orangtuanya. Keluarga Hatta bertetangga dengan Rosihan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Bagi Halida, Rosihan tak ubahnya kamus berjalan. Meski telah pergi meninggalkan dunia fana, Rosihan telah mengajarkan sikap konsisten dan pandangan hidup kepada banyak orang. "Ini satu keteladanan hidup," kata Halida.


Sinar Harapan, 17 Juni 2011, dengan judul "Zuraida, Sang Belahan Jiwa".

30 April 2011

Sang Pejuang Ditolak di Makam Pahlawan

Heru Atmojo layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya.

Tanah liang kuburnya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta belum kering. Masih belum juga seratus hari jenazah mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara Republik Indonesia berpangkat Letnan Kolonel Penerbang ini menempati rumah peristirahatan terakhirnya.

Namun, menjelang tengah malam pada 25 Maret 2011 lalu, makam Heru Atmodjo ini dibongkar dan jenazahnya dikeluarkan dari liang kubur oleh pihak TNI AU.

Pembongkaran ini tentu menyakitkan pihak keluarga, terutama bagi anak-anak Heru. Sebab, ayah mereka yang dianggap pejuang justru dipaksa keluar dari Makam Pahlawan.

Menurut Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, selepas makam dibongkar, baru keesokan paginya jenazah Heru diterbangkan ke Malang, Jawa Timur.

Bedjo yang mendapat cerita dari pihak keluarga mengatakan, jenazah Heru kini dimakamkan di sebelah pusara ibundanya di Desa Bangil, Sidoardjo.

Bedjo kemudian bercerita saat dirinya hadir pada pemakaman Heru di TMP Kalibata 29 Januari 2011 lalu, Heru dimakamkan layaknya seorang pejuang.

Sebuah upacara militer digelar oleh TNI Angkatan Udara. Tujuh prajurit TNI AU berdiri di samping peti melakukan tembakan salvo sebagai bentuk penghormatan terakhir.

"Pihak Angkatan Udara lalu menyerahkan bendera pusaka sebagai tanda penghormatan kepada Heru yang diterima oleh Suluh, kakak ipar Heru Atmodjo," kata Bedjo.

Ternyata hampir tiga bulan kemudian, salah seorang anggota keluarga Heru memberi tahu Bedjo bahwa makam Heru akan dibongkar kembali. Sebelum pembongkaran, tujuh tentara mendatangi rumah anak pertama Heru Atmodjo, yakni Ibnu Baskoro, di Cibubur, Jakarta Timur.

"Mereka tentara Angkatan Darat yang datang dari Cilangkap," tutur Bedjo. Ia mengatakan, pembongkaran makam itu dengan dilakukan paksaan dan ancaman.

Siaran pers Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 juga menyebutkan, pemindahan jenazah Heru Atmodjo dilakukan oleh keluarga dalam keadaan terpaksa. Memang, pertengahan Maret lalu sekelompok orang dari Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) berunjuk rasa di Kantor DPRD Jawa Timur.

Mereka menganggap jenazah Heru tidak layak dimakamkan di TMP Kalibata karena dia komunis yang terlibat dalam G30S 1965. Tak lama kemudian, tujuh tentara Angkatan Darat yang mengaku dari Markas Besar TNI di Cilangkap, dengan berpakaian dinas dan sipil, mendatangi pihak keluarga dan meminta paksa agar mereka memindahkan jenazah Heru.

Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menjelaskan, pembongkaran makam Heru Atmodjo sudah sesuai aturan. "Sesuai perundang-undangan, tak tepat (almarhum) dimakamkan di situ, sehingga harus dipindahkan," katanya.

Sepertinya, yang dimaksud Agus adalah UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam UU tersebut dikatakan, orang yang berhak dimakamkan di TMP adalah warga negara Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan Nasional, menerima tanda kehormatan Bintang Republik dan Bintang Mahaputera.

Direktur Kepahlawanan Kementerian Sosial, Hartati Soleha, mengemukakan Kementerian tidak memiliki hak untuk mengusulkan atau mencabut tanda atau bintang kehormatan atas seseorang.

"Untuk perihal bintang kehormatan berada di tangan sekretaris militer," ujarnya. Ia pun mengaku tidak tahu-menahu alasan detail mengapa makam Heru dibongkar.

Dituduh Terlibat G30S

Sejarawan Asvi Warman Adam menduga, pembongkaran makam Heru dilakukan karena Heru dituduh mengetahui rencana pemberontakan G30S tahun 1965. Namun, kata Asvi, Markas Besar TNI dan Angkatan Udara tetap harus memberi alasan yang jelas soal pembongkaran makam Heru.

Terlepas dari terlibat atau tidaknya Heru dalam G30S, menurut Asvi, Heru layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya.

Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2010, terutama Pasal 5 Ayat 3a menyebutkan: Bintang Gerilya masuk dalam salah satu kriteria Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Itu artinya Heru memiliki hak untuk dimakamkan di TMP, lanjut Asvi.

Ia menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memperhatikan betul persoalan ini. Sebab Presiden sendiri yang memberi lampu hijau agar penerima Bintang Gerilya bisa dimakamkan di TMP.

Lampu hijau diberikan Presiden setelah diprotes oleh para legiun veteran yang merasa "perjuangan mereka dilupakan" lewat persyaratan UU No 20 Tahun 2009.

"Jika UU tersebut tidak direvisi, hak pejuang yang menerima Bintang Gerilya untuk dimakamkan di taman makam pahlawan bisa terancam," kata Asvi.

Untuk itu, ia mengingatkan, yang perlu dipertanyakan adalah orang-orang yang bukan Pahlawan Nasional atau tidak pernah berjuang pada masa kemerdekaan, namun ketika zaman Soeharto mendapat tempat di Taman Makam Pahlawan karena diberi Bintang Mahaputera.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam suratnya tertanggal 27 April 2011 kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengingatkan, pemindahan makam jenazah seharusnya melalui keputusan hukum yang setara, baik dengan keputusan hukum pemberian Gelar Bintang Gerilya maupun keputusan hukum yang dikeluarkan untuk pemakaman di Taman Makam Pahlawan.

Kontras juga mengatakan, dugaan keterlibatan Heru Atmodjo dalam peristiwa G30S tidak bisa hanya didasarkan pada stigma, kecurigaan, dan desakan pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harus melihat fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh.

Heru sendiri telah membantah keterlibatannya dalam peristiwa G30S. Apalagi, sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair, jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.


Sinar Harapan, 28 April 2011

26 Maret 2011

Sang Pendobrak di Tengah Prahara


Mei 2009. Prahara hukum mulai menerjang KPK, setelah ketuanya, Antasari Azhar, dijadikan tersangka oleh polisi karena diduga menjadi “otak” dari pembunuhan pengusaha Nasrudin Zulkarnaen.

Dari balik penjara, Antasari melontarkan tuding­an dalam sebuah testimoni di atas empat lembar kertas putih tentang dugaan keterlibatan dua pemimpin dan se­orang staf KPK menerima suap dari PT Masaro. Perusahaan itu milik Anggoro Widjojo, buron KPK dan juga abang kandung Anggodo Widjojo yang dipenjara karena terbukti berupaya menyuap pemimpin KPK.

Dua bulan setelah laporan Sang Ketua ke polisi, dua pemimpin KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi tersangka pada September 2009. Tuduhannya, kedua pemimpin Komisi itu menyalahgunakan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko S Chandra.

Ketika polisi memproses kasus hukum ketiga pemimpin KPK hingga dijadikan tersangka dalam dua kasus berbeda, sebenarnya tengah terjadi perseteruan antara KPK dan kepolisian. Seteru dua lembaga penegak hukum itu terlihat jelas saat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri Susno Duadji menyebut Komisi sebagai “cicak” dan polisi sebagai “buaya”.

“Ibaratnya, di sini ‘buaya’, di situ ‘cicak’. Cicak kok melawan buaya,” kata Susno menganalogikan soal perseteruan polisi dan KPK. Ia merasa jengkel pembicaraan mengenai kasus Bank Century melalui telepon disadap KPK.

Penetapan dua pemimpin KPK tentu saja menyebabkan lembaga antikorupsi itu limbung.

Undang-Undang KPK di Pasal 32 menyebutkan, pemimpin KPK diberhentikan sementara jika menjadi tersangka dalam suatu kasus kejahatan. Pemimpin Komisi baru akan dipecat secara tetap jika menjadi terdakwa.

Pecah Kebuntuan

Dibentuk tahun 2003 berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK adalah lembaga negara nonpemerintah yang diberikan mandat mengatasi, menanggulangi, dan membe­rantas korupsi di Indonesia.

Pembentukan KPK memang ditujukan untuk memecah “kebuntuan” di institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Dengan kewenangan yang diberikan, KPK bak lembaga super yang dituntut harus bisa menuntaskan segunung kasus korupsi.

Banyak kalangan berpendapat, sejak dibentuk kebe­radaan KPK memberi angin segar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu saja, kipasan angin KPK telah menyebabkan banyak kalang­an, terutama pejabat dan elite politik, panik dan kalang kabut.

Sebagian besar resah de­ngan sepak terjang KPK mencokok satu per satu orang yang diduga terlibat suap atau korupsi dan atau mengusut kasus-kasus korupsi. Namun, tak kalah banyak pula kalang­an yang berpendapat KPK tebang pilih dalam membe­rantas korupsi.

Tidak hanya diganjal kasus hukum, para elite politik di negeri ini pun merasa gerah dengan sepak terjang KPK selama ini. Para politikus di Senayan—sesuai dengan “kekuasaan” yang dimiliki—mengancam akan memangkas kewenangan yang dimiliki KPK.

Ancaman para politikus memang bukan satu kali saja dilontarkan. Paling teranyar ancaman disampaikan sejumlah politikus Partai Golkar ketika menjenguk para ke­rabat mereka di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Para politikus di Senayan menilai KPK melakukan “malapraktik”, misalnya dalam kasus cek pelawat. Sebagian kalangan lain berpendapat, KPK yang ketika berdiri merupakan lembaga independen ini kini telah menjadi “bagian” dari subordinasi kekuasaan.

Tuduhan-tuduhan terhadap KPK harus segera dibantah, tentu saja, lewat tindakan nyata dengan tidak pilih kasih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Busyro Muqoddas yang memimpin Komisi saat ini harus bisa kembali meneguhkan kembali tujuan dibentuknya lembaga ini.

Seperti tertuang dalam misi, KPK sebagai pendobrak dan pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi harus bertindak tanpa pilih kasih. Memilah-milah kasus berdasarkan kepentingan atau “arahan” penguasa tak akan menyebabkan Indonesia dapat terbebas dari korupsi.

Begitu pula dengan visi yang berupaya mewujudkan KPK sebagai lembaga yang mampu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sebelum membersihkan kotoran di halaman orang lain, perlu melihat halam­an sendiri, apakah sudah bersih atau masih terdapat noda.


Sinar Harapan, 21 Maret 2011

Sejarah yang Terus Membayangi


Pe­rang Dingin yang berlangsung selama 44 ta­hun mulai 1947-1991 sulit dilupakan. Be­gitu pun dengan dinamika hubungan Indo­nesia-Amerika Serikat (AS) yang terjadi selama Perang Dingin, terutama periode 50-an.


“Put Soekarno’s ‘feet to the fire”


Peristiwa dalam kurun waktu tersebut telah menorehkan jejak sejarah begitu membekas yang membayangi hubungan antarkedua negara sampai saat ini.


“Kebijakan AS tahun 50-an sangat dibayang-bayangi kepentingan Perang Dingin,” kata Amelia Joan Liwe, sejarawan, menyitir dokumen milik pemerintah AS, yang dikemukakan dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Jakarta, akhir pekan lalu.


Tidak dapat dipungkiri, ketegangan Blok Barat yang dikomandoi AS, dengan nilai kapitalismenya dengan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet yang membawa nilai komunisme, telah mempe­ngaruhi hubungan antarnegara dan konstelasi politik dalam negeri di negara-negara lain, seperti Indonesia.


Jika garis sejarah ditarik mundur, hubungan Indonesia-AS periode 50-an diawali de­ngan iktikad baik. Ketika itu Indonesia yang belum lama menyatakan diri sebagai negara yang baru merdeka mendapat bantuan atau grant aid sebesar US$ 40 juta dari AS.


Pada 9 Januari 1950, Presiden AS Harry S Truman juga setuju memberikan bantuan sebesar US$ 5 juta untuk militer Indonesia dengan tujuan “melawan komunis”. Kebijakan AS ini sebenarnya terkait dengan kepentingan AS dalam Perang Dingin.


Skandal Politik


Amelia mengatakan, di balik bantuan AS kepada Indonesia pada masa itu, terungkap skandal politik. Pada Januari 1952, Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo, yang memimpin kabinet pemerintahan kedua setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, membangun kesepakatan yang melanggar prinsip politik bebas aktif yang dianut Indonesia.


Sukiman menyepakati bantuan AS berdasarkan kesepakatan Mutual Security Act (MSA). Pada Pasal 511 dalam kesepakatan itu berbunyi, militer dari suatu negara yang menerima bantuan AS punya komitmen mendukung pemerintah AS dalam Perang Dingin.


Namun, Soekarno menentang kesepakatan itu dengan menyatakan secara tegas, Indonesia tidak ingin memiliki ikatan dengan AS karena me­nganut prinsip politik bebas aktif. “Bulan Februari pada tahun yang sama, Sukiman akhirnya mundur,” ujarnya.


Prinsip politik bebas aktif yang dianut Indonesia, kata Amelia, sangat tidak disukai pemerintah AS. Terlebih ketika Indonesia melancarkan manuver politik dengan memba­ngun gerakan nonblok pada 1955, yang berdasarkan dokumen pemerintah, sangat tidak diterima dan disukai oleh pemerintah AS.


“Yang tidak memilih blok, baik AS atau Uni Soviet, dianggap oleh pemerintah AS lebih berbahaya dari negara komunis. Mereka tidak bisa terima ada pandangan politik seperti itu.” kata Amelia.


Ia pun mengatakan, sebenarnya Presiden Truman tidak pernah mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia lebih peduli kepada sekutunya dalam Perang Dingin, yakni Belanda.


Kemenangan PKI


Hubungan Indonesia-AS pun menjadi tidak harmonis, terlebih kian diperparah usai pemilu pertama tahun 1955 yang dimenangkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemenangan PKI menimbulkan kekhawatiran bagi AS yang tengah membangun aliansi di Asia berperang melawan komunis.


Kekhawatiran AS kian membesar melihat hubungan “mesra” Soekarno dengan PKI. Dalam dokumen Foreign Relations of The United States (FRUS) terungkap adanya perintah dari Washington untuk “menghabisi” kekuasaan Soekarno di Indonesia.


“Dalam dokumen itu saya lihat ada frasa put Soekarno’s ‘feet to the fire’,” ujar Amelia.


Perlawanan bersenjata yang muncul di sejumlah dae­rah di Indonesia, seperti Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di wilayah Indonesia Timur dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di wilayah Sumatera, kata Amelia, dimanfaatkan oleh pemerintah AS sebagai kesempatan menjatuhkan Soekarno.


Pemerintah AS beranggap­an, melakukan intervensi ke suatu negara tidak akan berhasil tanpa adanya peran aktor lokal. Oleh karena itu, dalam kawat diplomatik antara Jakarta-Washington pada 1958 terungkap adanya bantuan AS untuk “kekuatan di daerah”.


Namun, bantuan pemerintah AS untuk “kekuatan di daerah” hanya berlangsung 4-5 bulan. Setelah pesawat agen rahasia CIA, Allan Lawrance Pope, yang diduga kuat terlibat mengirim bantuan logistik untuk Permesta ditembak jatuh oleh tentara Indonesia, Mei 1958, pemerintah AS langsung menghentikan bantuan. Presiden Dwight David Eisenhower yang menggantikan Truman membantah keterlibatan AS.


Pada saat yang bersamaan, rekaman kawat diplomatik Kementerian Luar Negeri AS juga mengungkap adanya upaya pendekatan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini Tentara Nasional Indonesia—terhadap pihak Amerika Serikat.


“Ada beberapa kali pertemuan yang dilakukan antara ABRI dengan pihak AS,” ujarnya. Diduga ABRI membantu pihak AS untuk menjatuhkan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Soekarno.


Amelia mengatakan, sampai sekarang masih banyak dokumen terutama yang merekam pelbagai peristiwa periode 50-an yang belum dibuka oleh pemerintah AS. Pergeseran dinamika dalam hubungan Indonesia-AS yang terjadi sepanjang periode 50-an masih membekas bagi Indonesia dalam melihat AS, sekalipun Perang Dingin telah lama usai.



Sinar Harapan, 22 Maret 2011