26 Maret 2011

Sang Pendobrak di Tengah Prahara


Mei 2009. Prahara hukum mulai menerjang KPK, setelah ketuanya, Antasari Azhar, dijadikan tersangka oleh polisi karena diduga menjadi “otak” dari pembunuhan pengusaha Nasrudin Zulkarnaen.

Dari balik penjara, Antasari melontarkan tuding­an dalam sebuah testimoni di atas empat lembar kertas putih tentang dugaan keterlibatan dua pemimpin dan se­orang staf KPK menerima suap dari PT Masaro. Perusahaan itu milik Anggoro Widjojo, buron KPK dan juga abang kandung Anggodo Widjojo yang dipenjara karena terbukti berupaya menyuap pemimpin KPK.

Dua bulan setelah laporan Sang Ketua ke polisi, dua pemimpin KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi tersangka pada September 2009. Tuduhannya, kedua pemimpin Komisi itu menyalahgunakan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko S Chandra.

Ketika polisi memproses kasus hukum ketiga pemimpin KPK hingga dijadikan tersangka dalam dua kasus berbeda, sebenarnya tengah terjadi perseteruan antara KPK dan kepolisian. Seteru dua lembaga penegak hukum itu terlihat jelas saat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri Susno Duadji menyebut Komisi sebagai “cicak” dan polisi sebagai “buaya”.

“Ibaratnya, di sini ‘buaya’, di situ ‘cicak’. Cicak kok melawan buaya,” kata Susno menganalogikan soal perseteruan polisi dan KPK. Ia merasa jengkel pembicaraan mengenai kasus Bank Century melalui telepon disadap KPK.

Penetapan dua pemimpin KPK tentu saja menyebabkan lembaga antikorupsi itu limbung.

Undang-Undang KPK di Pasal 32 menyebutkan, pemimpin KPK diberhentikan sementara jika menjadi tersangka dalam suatu kasus kejahatan. Pemimpin Komisi baru akan dipecat secara tetap jika menjadi terdakwa.

Pecah Kebuntuan

Dibentuk tahun 2003 berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK adalah lembaga negara nonpemerintah yang diberikan mandat mengatasi, menanggulangi, dan membe­rantas korupsi di Indonesia.

Pembentukan KPK memang ditujukan untuk memecah “kebuntuan” di institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Dengan kewenangan yang diberikan, KPK bak lembaga super yang dituntut harus bisa menuntaskan segunung kasus korupsi.

Banyak kalangan berpendapat, sejak dibentuk kebe­radaan KPK memberi angin segar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu saja, kipasan angin KPK telah menyebabkan banyak kalang­an, terutama pejabat dan elite politik, panik dan kalang kabut.

Sebagian besar resah de­ngan sepak terjang KPK mencokok satu per satu orang yang diduga terlibat suap atau korupsi dan atau mengusut kasus-kasus korupsi. Namun, tak kalah banyak pula kalang­an yang berpendapat KPK tebang pilih dalam membe­rantas korupsi.

Tidak hanya diganjal kasus hukum, para elite politik di negeri ini pun merasa gerah dengan sepak terjang KPK selama ini. Para politikus di Senayan—sesuai dengan “kekuasaan” yang dimiliki—mengancam akan memangkas kewenangan yang dimiliki KPK.

Ancaman para politikus memang bukan satu kali saja dilontarkan. Paling teranyar ancaman disampaikan sejumlah politikus Partai Golkar ketika menjenguk para ke­rabat mereka di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Para politikus di Senayan menilai KPK melakukan “malapraktik”, misalnya dalam kasus cek pelawat. Sebagian kalangan lain berpendapat, KPK yang ketika berdiri merupakan lembaga independen ini kini telah menjadi “bagian” dari subordinasi kekuasaan.

Tuduhan-tuduhan terhadap KPK harus segera dibantah, tentu saja, lewat tindakan nyata dengan tidak pilih kasih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Busyro Muqoddas yang memimpin Komisi saat ini harus bisa kembali meneguhkan kembali tujuan dibentuknya lembaga ini.

Seperti tertuang dalam misi, KPK sebagai pendobrak dan pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi harus bertindak tanpa pilih kasih. Memilah-milah kasus berdasarkan kepentingan atau “arahan” penguasa tak akan menyebabkan Indonesia dapat terbebas dari korupsi.

Begitu pula dengan visi yang berupaya mewujudkan KPK sebagai lembaga yang mampu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sebelum membersihkan kotoran di halaman orang lain, perlu melihat halam­an sendiri, apakah sudah bersih atau masih terdapat noda.


Sinar Harapan, 21 Maret 2011

Sejarah yang Terus Membayangi


Pe­rang Dingin yang berlangsung selama 44 ta­hun mulai 1947-1991 sulit dilupakan. Be­gitu pun dengan dinamika hubungan Indo­nesia-Amerika Serikat (AS) yang terjadi selama Perang Dingin, terutama periode 50-an.


“Put Soekarno’s ‘feet to the fire”


Peristiwa dalam kurun waktu tersebut telah menorehkan jejak sejarah begitu membekas yang membayangi hubungan antarkedua negara sampai saat ini.


“Kebijakan AS tahun 50-an sangat dibayang-bayangi kepentingan Perang Dingin,” kata Amelia Joan Liwe, sejarawan, menyitir dokumen milik pemerintah AS, yang dikemukakan dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Jakarta, akhir pekan lalu.


Tidak dapat dipungkiri, ketegangan Blok Barat yang dikomandoi AS, dengan nilai kapitalismenya dengan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet yang membawa nilai komunisme, telah mempe­ngaruhi hubungan antarnegara dan konstelasi politik dalam negeri di negara-negara lain, seperti Indonesia.


Jika garis sejarah ditarik mundur, hubungan Indonesia-AS periode 50-an diawali de­ngan iktikad baik. Ketika itu Indonesia yang belum lama menyatakan diri sebagai negara yang baru merdeka mendapat bantuan atau grant aid sebesar US$ 40 juta dari AS.


Pada 9 Januari 1950, Presiden AS Harry S Truman juga setuju memberikan bantuan sebesar US$ 5 juta untuk militer Indonesia dengan tujuan “melawan komunis”. Kebijakan AS ini sebenarnya terkait dengan kepentingan AS dalam Perang Dingin.


Skandal Politik


Amelia mengatakan, di balik bantuan AS kepada Indonesia pada masa itu, terungkap skandal politik. Pada Januari 1952, Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo, yang memimpin kabinet pemerintahan kedua setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, membangun kesepakatan yang melanggar prinsip politik bebas aktif yang dianut Indonesia.


Sukiman menyepakati bantuan AS berdasarkan kesepakatan Mutual Security Act (MSA). Pada Pasal 511 dalam kesepakatan itu berbunyi, militer dari suatu negara yang menerima bantuan AS punya komitmen mendukung pemerintah AS dalam Perang Dingin.


Namun, Soekarno menentang kesepakatan itu dengan menyatakan secara tegas, Indonesia tidak ingin memiliki ikatan dengan AS karena me­nganut prinsip politik bebas aktif. “Bulan Februari pada tahun yang sama, Sukiman akhirnya mundur,” ujarnya.


Prinsip politik bebas aktif yang dianut Indonesia, kata Amelia, sangat tidak disukai pemerintah AS. Terlebih ketika Indonesia melancarkan manuver politik dengan memba­ngun gerakan nonblok pada 1955, yang berdasarkan dokumen pemerintah, sangat tidak diterima dan disukai oleh pemerintah AS.


“Yang tidak memilih blok, baik AS atau Uni Soviet, dianggap oleh pemerintah AS lebih berbahaya dari negara komunis. Mereka tidak bisa terima ada pandangan politik seperti itu.” kata Amelia.


Ia pun mengatakan, sebenarnya Presiden Truman tidak pernah mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia lebih peduli kepada sekutunya dalam Perang Dingin, yakni Belanda.


Kemenangan PKI


Hubungan Indonesia-AS pun menjadi tidak harmonis, terlebih kian diperparah usai pemilu pertama tahun 1955 yang dimenangkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemenangan PKI menimbulkan kekhawatiran bagi AS yang tengah membangun aliansi di Asia berperang melawan komunis.


Kekhawatiran AS kian membesar melihat hubungan “mesra” Soekarno dengan PKI. Dalam dokumen Foreign Relations of The United States (FRUS) terungkap adanya perintah dari Washington untuk “menghabisi” kekuasaan Soekarno di Indonesia.


“Dalam dokumen itu saya lihat ada frasa put Soekarno’s ‘feet to the fire’,” ujar Amelia.


Perlawanan bersenjata yang muncul di sejumlah dae­rah di Indonesia, seperti Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di wilayah Indonesia Timur dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di wilayah Sumatera, kata Amelia, dimanfaatkan oleh pemerintah AS sebagai kesempatan menjatuhkan Soekarno.


Pemerintah AS beranggap­an, melakukan intervensi ke suatu negara tidak akan berhasil tanpa adanya peran aktor lokal. Oleh karena itu, dalam kawat diplomatik antara Jakarta-Washington pada 1958 terungkap adanya bantuan AS untuk “kekuatan di daerah”.


Namun, bantuan pemerintah AS untuk “kekuatan di daerah” hanya berlangsung 4-5 bulan. Setelah pesawat agen rahasia CIA, Allan Lawrance Pope, yang diduga kuat terlibat mengirim bantuan logistik untuk Permesta ditembak jatuh oleh tentara Indonesia, Mei 1958, pemerintah AS langsung menghentikan bantuan. Presiden Dwight David Eisenhower yang menggantikan Truman membantah keterlibatan AS.


Pada saat yang bersamaan, rekaman kawat diplomatik Kementerian Luar Negeri AS juga mengungkap adanya upaya pendekatan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini Tentara Nasional Indonesia—terhadap pihak Amerika Serikat.


“Ada beberapa kali pertemuan yang dilakukan antara ABRI dengan pihak AS,” ujarnya. Diduga ABRI membantu pihak AS untuk menjatuhkan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Soekarno.


Amelia mengatakan, sampai sekarang masih banyak dokumen terutama yang merekam pelbagai peristiwa periode 50-an yang belum dibuka oleh pemerintah AS. Pergeseran dinamika dalam hubungan Indonesia-AS yang terjadi sepanjang periode 50-an masih membekas bagi Indonesia dalam melihat AS, sekalipun Perang Dingin telah lama usai.



Sinar Harapan, 22 Maret 2011