06 Desember 2010

Menanti Pengakuan Pemerintah


Hari Antikekerasan terhadap Perempuan Internasional diperingati 25 November 2010. Komisi HAM Nasional meng­angkat isu pembiaran negara terhadap para mantan jugun ianfu atau budak seks militer Jepang periode 1942-1945. Mereka hingga kini menderita dan menunggu peng­akuan dari pemerintah.

Ema Kasimah tak kuasa lagi menahan agar bulir-bulir air matanya tak jatuh. Apa daya, dengan kepala tertunduk ia menangis sesunggukan. Seperti ada sesuatu yang masih mengganjal di hati dan pikirannya, namun sulit untuk diungkapkan. Dua belas orang yang berdiri di hadapannya hanya bisa menatap penuh haru.

Sederet kata yang terde­ngar lirih terucap dari bibirnya. Tak begitu terdengar jelas apa yang diucapkan. Tentu saja ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh perempuan asal Cimahi, Jawa Barat, berusia sekitar 90 tahun itu.

“Sudah capek. Sedih, kalau diingat lagi,” ujar Ema dalam bahasa Sunda seperti ditirukan oleh Sri Setiani, cucu angkat Ema. Komisioner dari Komnas HAM, Hesti Armiwulan, mewanti-wanti agar tidak bertanya kepada Ema soal apa yang terjadi terhadap dirinya pada suatu hari, tahun 1942, dan masa setelahnya.

“Silakan ajak bicara, tapi tolong jangan tanya soal apa yang dialami oleh ibu Ema. Karena itu hanya akan membuat ia menangis,” katanya.

Ema memang agak sulit diajak bicara oleh orang yang tak ia kenal, terlebih jika di­minta mengisahkan kembali soal masa kelam yang dideritanya.

Sri mengatakan, ketika melamun perempuan yang tak pernah memiliki anak ini se­ring kali mendadak bilang “astagfirullah”. Ema sempat menikah setelah bebas, karena Jepang kalah perang dengan sekutu Barat di kawasan Asia Pasifik. Namun, sejak ditinggal mati oleh suaminya sekitar tahun ‘70-an karena sakit, Ema tak pernah lagi menikah.

Kepada seorang wartawati dari sebuah televisi swasta, Ema sempat mau berbicara. Itu pun setelah dibujuk oleh Sri. Namun, tak begitu lama, Ema lalu mencari-cari “Si Neng”—panggilan Ema kepada Sri—yang sebetulnya berdiri tak jauh darinya. Sri pun mendekat.

Ema adalah salah satu dari puluhan—bahkan puluhan ribu—korban kejahatan perang tentara dan sipil Jepang sepanjang periode 1942-1945. Pada masa itu, Jepang tengah menancapkan kekuatan militernya di negara-negara kawasan Asia, termasuk Indonesia. Ketika itu, setiap pria dijadikan budak pekerja atau romusa, sementara kaum perempuan dijadikan budak seks atau jugun ianfu oleh tentara Jepang.

Suatu hari pada tahun 1942, ketika Perang Pasifik tengah berkecamuk, seorang gadis berusia 17 tahun diculik oleh tentara Jepang di Cimahi, Jawa Barat. Hingga mengembuskan napas terakhir, sang ayah bahkan tak pernah mengetahui nasib dan keberadaan putrinya itu.

“Waktu diculik Jepang, Bapak sedang sakit,” ujar Sri seperti pernah diceritakan Ema kepada dirinya. Para tentara Jepang itu, kata Sri, kemudian membawa paksa Ema ke Ian-jo yang tak jauh dari rumahnya. Ian-jo adalah rumah bordil ala Jepang, yang dijaga ketat oleh tentara.

Operasi menculik para perempuan Indonesia tidak sendiri dilakukan oleh tentara Jepang. Seperti tertulis di buku yang diterbitkan Komisi HAM dan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia (JAJI), lurah, camat dan tonarigumi alias Kepala Rukun Tetangga/Rukun Warga juga turut terlibat.

Di “markas” Ian-jo, seperti diceritakan Ema, ia dan para perempuan Indonesia lainnya yang diculik diperkosa oleh 10-15 orang tentara, mulai dari pagi hingga malam hari. Perlakuan biadab seperti itu terus dialami para budak seks, setiap hari selama kurang lebih tiga tahun lamanya Jepang menjajah Indonesia.

Pembiaran Negara
Ria dari JAJI mengatakan, Ema adalah salah satu dari empat mantan jugun ianfu dari Indonesia yang hadir bersama 75 mantan jugun ianfu dari Asia di Pengadilan Internasional Kejahatan Perang atau “The Tokyo Tribunal” dalam kasus perbudakan seksual oleh militer Jepang di Tokyo.

“Ada Suhana dan Mardiyem yang sudah meninggal dunia. Yang tersisa kini ada Suharti dan Ema Kasimah,” kata Ria yang telah menjadi pendamping para mantan jugun ianfu selama sepuluh tahun terakhir.

Keempatnya juga hadir dalam putusan akhir yang disampaikan di Den Haag, Belanda. Keputusan itu me­nyatakan bahwa Kaisar Akihito, Kaisar Showa, Kepala Negara, dan Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Kerajaan Jepang tahun 1937-1945 bersalah.

Sementara itu, Hesti dari Komisi HAM yang mengutip data JAJI mengatakan, ada sekitar 25.000 mantan jugun ianfu yang teridentifikasi di Bandung dan Yogyakarta. Jumlah itu belum angka akhir karena diyakini masih banyak jugun ianfu lainnya di seluruh Indonesia.

Pengakuan pemerintah, kata Hesti, hingga kini terus ditunggu oleh para mantan jugun ianfu. Tak perlu malu untuk mengakui bahwa telah terjadi kejahatan perang sepanjang 1942-1945 di Indonesia, di mana para korbannya adalah para perempuan Indonesia.

Resparasi dalam rangka pemulihan, kata Hesti, sangat dibutuhkan. Namun, bukan hanya persoalan sejumlah materi dari Jepang yang diterima pemerintah Indonesia sebagai bentuk “penebusan dosa”, meski uang “kerahiman” itu sendiri belum pernah dirasakan oleh para jugun ianfu.

Masih ada sisa luka yang belum selesai, kata Hesti. Karena itu, pemerintah harus mengobati luka itu dengan menghapus stigma negatif “gadis penghibur” dan menghentikan penderitaan psikis dan sosial, serta ekonomi yang hingga kini masih melekat dalam diri mantan jugun ianfu.


Sinar Harapan, 2 Desember 2010