25 Juli 2008

Milis Marga Ambarita

Kursi batu dari zaman Megalitikum yang terdapat di Pulau Ambarita. Dahulu, lokasi ini adalah kediaman Raja Sialagan, penguasa Ambarita, dan tempat persidangan sekaligus pembantaian para penjahat.


Malam ini, saat sedang mengecek e-mail, aku melihat ada beberapa pesan elektronik masuk. Salah satunya dari Domu Damians Ambarita.

Maksud dari pesan itu, yakni mengundangku untuk bergabung ke dalam komunitas mailing list orang-orang Batak bermarga Ambarita. Aku sendiri keturunan Batak bermarga Ambarita.

E-mail undangan itu dikirim oleh sang pengelola milis,
Domu Damians Ambarita. Dia wartawan senior pada jaringan Koran Pers Daerah (Persda) milik Kelompok Kompas Gramedia.

Aku sendiri awalnya kaget mengetahui adanya keberadaan milis MargaAmbarita. Juga senang tentunya.

Perjumpaanku dengan sang pengelola milis, seperti diterangkan di dalam E-mail undangan tersebut, lewat milis Mediacare. Kemarin sore, aku memang mengirimkan sebuah tulisan ke milis tersebut.

Aku pun kemudian membuka milis yang dimaksud. Salam perkenalan pun kusampaikan kepada seluruh seluruh anggota milis.

Sejak kehadirannya tiga bulan yang lalu, sekitar 60-an orang telah terdaftar dalam keanggotaan milis. Anggota milis datang dari banyak tempat, baik di dalam maupun luar negeri, dan pelbagai latar belakang usia, profesi, dan sebagainya.

Berkumpul dalam sebuah komunitas milis yang berasal dari satu kelompok marga dari tanah Batak untuk menjalin komunikasi satu sama lain.

Karena ini merupakan milis "khusus" orang-orang Batak bermarga Ambarita, topik yang diperbincangkan pun tak jauh dari seputar "Ambarita".

Mulai dari informasi kelahiran anak, duka cita hingga Tarombo atau silsilah keluarga keturunan Raja Ambarita.

Meski demikian, topik-topik lain di luar "Ambarita" pun tersaji dalam milis ini. Seperti, kenaikan harga BBM, peristiwa penyerangan anggota FPI di Istana awal Juni lalu, maupun informasi lowongan kerja.

Kehadiran milis ini cukup bermanfaat, setidaknya bagi mereka yang sudah "melek" teknologi. Milis ini dapat menjadi jembatan komunikasi bagi orang-orang Batak bermarga Ambarita yang tinggal terpencar dimana pun mereka berada.

"Tujuan milis ini terutama untuk menjadi media komunikasi Ambarita, Boru dan Bere yang tersebar dimana pun berada," tulis pengelola milis dalam e-mail undangan.

Bagiku, keberadaan milis ini selain menjadi media komunikasi antarsesama anggota juga dapat menjadi tempat belajar lebih luas dan mendalam tentang "Batak" dan "Ambarita".

Terus terang, meskipun keturunan Batak bermarga Ambarita aku tidak tahu betul mengenai "Batak" apalagi "Ambarita". Aku dan kedua adikku lahir dan besar di Jakarta.

Selain milis, pengelola dari milis ini juga membuat
blog. Isinya, tentu saja informasi-informasi seputar marga Ambarita.

Dihadirkannya milis MargaAmbarita, menurutku adalah salah satu cara menjalin kebersamaan antarsesama marga Ambarita yang tersebar di banyak tempat. Menarik karena dikemas sesuai dengan perkembangan zaman.

Keberadaan milis ini juga menjawab filosofi kekerabatan orang Batak, yang salah satu diantaranya ialah: manat mardongan tubu. Artinya, kita harus tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

16 Juli 2008

Penyesalan dari Sang Jendral

Seorang Pemuda Timor Leste disiksa dan dibunuh oleh tentara Indonesia. Foto ini dirilis tahun 1996 oleh Jose Ramos Horta.

"Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi di masa lalu yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai menerima laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) di Bali, Selasa (15/7).

Pernyataan penyesalan Pemerintah Indonesia ini disampaikan Presiden Yudhoyono setelah menerima laporan akhir dari Ketua KKP Timor Leste, Dino Babo Soares, dan dari Indonesia, Benjamin Mangkoedilaga.

Hadir dan turut menerima laporan ini Presiden Republik Demokratik Timor Leste Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao. Sejumlah petinggi pemerintahan dari kedua negara juga hadir.

Laporan yang terdiri dari 321 halaman dan terbagi tujuh bab ini berisi laporan 20 komisioner dari kedua negara. Laporan ini hasil investigasi selama tiga tahun.

Tugas komisi yang dibentuk bersama oleh dua negara ini: Indonesia dan Timor Timur, berakhir dan akhirnya mengungkap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di Timor Timur pada masa lalu, saat dipimpin Soeharto.

Laporan yang diberi judul "Per Memoriam ad Spem" atau "Melalui Kenangan Menuju Harapan" ini menyebutkan, sepanjang tahun 1999, lebih dari 1000 orang diyakini tewas dibunuh, dan banyak orang Timor Timur lainnya disiksa, diperkosa, atau terpaksa mengungsi.

Komisi selanjutnya menyatakan: Pemerintah Indonesia, TNI dan Polri bertanggung jawab atas berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum, selama dan sesudah jajak pendapat di Timor Timur, September 1999.

Sebelumnya, selama ini Pemerintah Indonesia selalu lempar batu sembunyi tangan. Pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pada masa lalu, katanya, dilakukan secara individu, bukan institusi.

Salah satu peristiwa berdarah yang akhirnya menyedot perhatian internasional yaitu peristiwa yang terjadi pada 12 Nopember 1991. Saat itu, tentara Indonesia secara membabi buta menembaki rakyat Timor Timur yang sedang menggelar demonstrasi damai menentang 'pendudukan' tentara Indonesia di bumi Lorosae.

Diperkirakan lebih dari 400 orang tewas ditembaki dan dikubur massal di pekuburan Santa Cruz. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Peristiwa Santa Cruz.

Hanya rasa penyesalan yang disampaikan oleh Presiden Yudhoyono yang juga mantan jendral bintang empat ini, tidak akan pernah mampu untuk mengobati luka rakyat Timor Leste. Mengingat, betapa kejamnya Pemerintah Indonesia lewat TNI, Polri dan milisi bersenjata yang dibentuk oleh kedua institusi ini, terhadap rakyat Timor Timur di masa lalu.

Tanpa melanjutkannya dengan menyeret orang-orang yang diyakini kuat terlibat dalam genosida di Timor Timur ke pengadilan, keadilan bagi rakyat Timor Timur akan terus menjadi mimpi, yang sebenarnya telah mereka tunggu dan harapkan selama ini.

Kompromi politik yang diambil oleh kedua negara, yang menyatakan tidak akan melanjutkan laporan ini ke ranah hukum, tidak bisa dibenarkan.

Langkah politik yang diambil oleh kedua pemimpin dari kedua negara ini telah mengabaikan hak keadilan bagi rakyat Timor Timur. Dan itu dilakukan bukan keinginan dan atas persetujuan rakyat.

Rakyat bumi Lorosae tidak akan pernah dapat melupakan ketertindasan yang mereka alami selama berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selama tidak adanya keadilan, selama itu juga duri tajam masih akan terus tertanam di dalam raga mereka, rakyat Timor Leste. Dan itu dialami mereka hingga saat ini meski, laporan KKP yang berbuah penyesalan Presiden Yudhoyono telah disampaikan.

11 Juli 2008

Ramai-ramai Ditipu Parpol

Kampanye politik dari pasangan Achmad Heryawan dan Dede Yusuf yang diusung oleh PKS-PAN dalam Pilkada Jawa Barat 2008, di Lapangan Cingcin, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.


DI aula besar sebuah hotel internasional di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, pada pertengahan Mei silam, ratusan orang berseragam mengenakan jaket berwarna biru laut berkumpul. Mereka datang dari banyak daerah di Indonesia.

Sebuah partai berlambang matahari saat itu tengah menggelar Rapat Kerja Nasional mereka yang ke-III.

Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Sebuah acara khusus telah siap digelar di sela-sela Rakernas.

Di hadapan sang pendiri, Amien Rais dan Hatta Radjasa, kader PAN di kabinet serta pengurus DPP dan DPW, Soetrisno Bachir, sang ketua umum, mengukuhkan sekitar 30 artis ibu kota sebagai anggota partai. Para artis ibu kota ini juga langsung mendapat kartu anggota di tempat.

Penjaringan artis-artis yang dilakukan PAN ini terkait "kemenangan" salah seorang anggota partai dalam Pilkada Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Aktor Dede Yusuf, anggota partai yang sebelumnya duduk di parlemen, kini menjabat wakil gubernur Jabar, mendampingi Achmad Heryawan, gubernur yang diusung PKS.

Mas Tris, begitu ia akrab disapa dan dikenal dekat dengan banyak artis, pun masih membuka kedua tangannya lebar-lebar kepada para artis lainnya: mengajak mereka ramai-ramai masuk ke dalam partai ini.

Sang ketua yang juga pengusaha sukses ini juga menjanjikan akan memberikan "tiket gratis" menuju Senayan kepada para artis. Tak heran kemudian kalau kini PAN memiliki singkatan lain yaitu "Partai Artis Nasional" atawa "Partai Anak Nongkrong", yang dicetuskan sendiri oleh sang ketua.

Strategi Partai Golkar yang mengusung duet incumbent Ismet Iskandar-Rano Karno dalam Pilkada Tangerang dan PKS-PAN dengan Achmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar, membuat partai politik atau elit politik lainnya tertarik mengikuti jejak dari ketiga partai tersebut. Berharap mendapat kesuksesan yang sama.

PDIP, misalnya, dalam Pilkada Sumatera Selatan mengkawinkan calon mereka, Syahrial Oesman, dengan presenter kondang Helmi Yahya. Lalu, kemudian ada penyanyi dangdut Saiful Jamil yang dipinang oleh PPP untuk mendampingi calon wali kota Serang pilihan partai, Kirtam Sanjaya.

Tidak hanya partai. Para politisi yang menggunakan jalur independen pun demikian. Ikut tergiur.

Senin malam, 7 Mei lalu, disaat puluhan partai politik berharap-harap cemas mendengarkan pengumuman Ketua KPU Pusat Abdul Hafiz atas partai politik yang lolos verifikasi faktual di gedung Komisi Pemilihan Umum Pusat di Jakarta, seorang aktor diam-diam "berkunjung" ke kantor KPU Subang, Jawa Barat.

Kedatangan pemain sinetron berbadan atletis ini ke KPU bukan sebagai artis yang sengaja diundang dari Jakarta untuk "melatih" para pengurus KPU Daerah yang mungkin letih usai melakukan verifikasi faktual di Subang.

Primus Yustisio, aktor berwajah tampan ini datang dengan ditemani oleh seorang pria bernama Agus Nurani untuk mendaftarkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Subang periode mendatang. Primus dan Agus menggunakan jalur independen.

Mereka mendaftar pada menit-menit terakhir menjelang penutupan pengembalian berkas dukungan penduduk. Sebagai calon independen, aktor yang sudah laris sejak pertengahan 90'an ini datang ke KPU menyerahkan berkas pernyataan dukungan dari sekitar 56 ribu warga Subang terhadap dirinya ke KPU.

Aktor yang juga pengacara tenar, Gusti Randa, baru-baru ini juga memproklamirkan dirinya menjadi calon wakil wali kota Padang periode mendatang. Ia telah dipinang oleh Rizal Moenir, seorang anggota DPRD Sumatera Barat dari Partai Demokrat yang mencalonkan diri menjadi wali kota Padang lewat jalur independen.

Keterlibatan artis dalam kancah dunia politik sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Di era Orde Baru, sejumlah artis mulai "kelas teri" hingga "papan atas" telah "diikut-sertakan" berpolitik oleh parpol, meski tidak seramai seperti sekarang ini.

Sebut saja seperti penyanyi dangdut Rhoma Irama dan Camelia Malik, yang tidak pernah absen dalam setiap kampanye Partai Golongan Karya atau kini Partai Golkar.

Di masa Soeharto, para artis dimobilisir oleh partai politik dalam setiap kampanyenya. Partai Golongan Karya atau kini Partai Golkar yang diketahui sangat sering memanfaatkan jasa para artis untuk menarik rakyat ke panggung kampanye mereka. Melalui mereka-lah (artis, red) jualan kecap parpol laris manis tanjung kimpul.

Kaset baru lagu lama. Itu saya kira yang tepat untuk menggambarkan taktik pencitraan partai saat ini yang tengah dilanda hujatan dan caci maki dari rakyat. Dengan sedikit polesan, partai politik ramai-ramai telah menipu para artis yang sebenarnya hanya dijadikan pengumpul suara. Tidak lebih dari itu.

Rakyat sendiri juga menjadi korban penipuan partai, lewat para artis ini.

Bang Doel, Kang Dede Yusuf, ataupun artis-artis lainnya yang kini tengah dalam pinangan parpol, boleh saja membantahnya. Tapi fakta tidak bisa ditutupi. Inilah cara baru partai politik memanfaatkan ketenaran artis.

Tak percaya? Coba lihat saja, sejauh ini parpol hanya memberikan second position untuk para artis yang mereka "undang" untuk menjadi calon pemimpin daerah. Jadi, jangan bermimpi untuk melakukan perubahan!

Pendapat saya ini bukan untuk meremehkan kualitas dari para artis yang akan maju dalam Pilkada ataupun yang kini sudah menjadi pejabat pemerintah. Bukan juga ingin melarang hak orang untuk berpolitik. Setiap orang, siapa pun dia, memiliki hak politik yang sama!

Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, apakah para artis ini dapat melakukan perubahan dengan posisi mereka yang, menurut saya, sebenarnya hanya dijadikan bunga-bunga kampanye oleh partai politik saat ini?

Menurut saya, TIDAK. Sejauh ini, artis masih hanya dijadikan pemikat kumbang-kumbang (rakyat, red) dalam setiap kampanye partai politik. Jelas, partai-lah yang mendapatkan keuntungan.

Bagi partai politik, ini bagaikan sekali mendayung, dua-tiga pulau dicapai. Suara pemilih didapat, citra pun diraih dan partai tidak lagi perlu mengeluarkan biaya tambahan kampanye untuk para artis karena mereka sudah terikat dengan tanggung jawab sebagai anggota partai.