14 November 2010
Haruskah Tragedi Semanggi Tinggal Seremoni?
Dari Roket R-Han Hingga Sukhoi
Harapan Membentang di Depan Bambang
Sekitar tiga ratus orang duduk di bangku yang bersaf tiga. Sebagian besar raut wajah mereka terlihat serius. Tatapan mata dan telinga mereka seolah tidak ingin lepas dari sosok pria yang telah melewati usia setengah abad lebih satu tahun itu, yang tengah duduk berbicara di hadapan mereka.
Siang kemarin, hawa sejuk pendingin ruangan yang terserak ke seluruh penjuru ruangan aula kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Salemba, Jakarta Pusat, begitu terasa. Segelintir orang begitu menikmati sejuknya udara dengan katup mata yang terlihat naik-turun.
Namun, hal itu tetap saja tidak mampu menyelimuti obrolan “panas” yang tengah disampaikan oleh seseorang siang hari kemarin. Sebuah spanduk besar berwarna biru dengan tajuk “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, terbentang lebar di dinding yang menghadap para hadirin.
Dia adalah Bambang Widjojanto, calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siang itu ia dihadirkan oleh pihak kampus sebagai “dosen” dalam kuliah umum pascasarjana Fakultas Hukum UKI. Tidak hanya calon-calon master hukum saja yang hadir, tetapi tampak juga terlihat mahasiswa Strata 1, dosen hingga advokat—bahkan dokter.
Di tengah-tengah kuliah, Bambang sempat dua kali berhenti bicara. Mungkin ia sadar sebagian besar peserta kuliah masih terlihat tegang. Sejumlah peserta lainnya tampak hanya sibuk berfoto, berbisik-bisik dengan sesama kawan mereka sambil cekikikan. Ia kemudian coba menciptakan suasana kuliah siang itu lebih rileks dan “kondusif”.
“Supaya tidak terlalu tegang mari kita tepuk tangan dahulu. Karena ada dua kemungkinan, ini sedang serius mendengar atau mengantuk,” ujarnya yang disambut tawa para hadirin.
Ada sekira satu jam Bambang cuap-cuap soal korupsi di hadapan para calon dan pendekar hukum di negeri ini. Mulai dari definisi korupsi, membedah fakta kejahatan korupsi hingga strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Biar agak beda dengan rapat-rapat LSM, pertemuan kita ini nantinya harus bisa mendapatkan solusi memberantas korupsi,” ujar pria yang memulai karir di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini.
Dengan penuh semangat ia memaparkan satu per satu pelbagai hal mengenai korupsi. Ia, misalnya, menjelaskan definisi korupsi yang menurutnya telah mengalami ekspansi interpretasi atau perluasan makna.
Dahulu, anggota Dewan Etik Indonesian Corruption Watch (ICW) ini mengatakan, perbuatan korupsi hanya diartikan sebagai perbuatan menyimpang oleh penyelenggara atau pejabat negara.
“Kalau ICW tidak bisa mempertanggungjawabkan dana publik yang mereka kelola itu juga bisa disebut korupsi,” tegasnya.
Bambang juga berharap masyarakat turut berpartisipasi mengontrol kebijakan penggunaan anggaran oleh penguasa. “Awasi penggunaan, tapi jangan lupa awasi juga penerimaannya. Itu baru klop,” katanya.
Ketika moderator membuka sesi tanya jawab, banyak peserta berebut mengacungkan jari. Bahkan, beberapa di antara mereka nyolong start dengan mengacungkan jari telunjuk dari jauh sebelumnya.
Beragam pertanyaan yang diajukan, namun ada pula yang hanya memberikan pendapat dan saran mereka terhadap upaya pemberantasan korupsi, termasuk seandainya Bambang yang terpilih menjadi ketua KPK.
“Bagaimana tanggapan Bapak (ketika menjadi ketua KPK) soal upaya pemberantasan korupsi yang mendapatkan intervensi oleh kekuatan politik?,” tanya seorang peserta. “Apa tips Bapak untuk mengurangi korupsi?” penanya lainnya.
Serentetan pertanyaan para peserta itu kemudian dijawab Bambang secara komperenhensif. Sebagian peserta hanya tersenyum mendengar jawaban yang disampaikan. Sebagian lainnya hanya mendengar dan memandang—minus ekspresi.
Kelak jika ia yang terpilih menjadi ketua KPK, maka ia akan menjelaskan secara terbuka kepada publik asal muasal kekayaan yang dimiliki. “Tapi saya belum bisa dilihat kekayaannya karena belum jadi pejabat. Sebentar lagi baru bisa,” ujarnya tersenyum.
Seusai acara, Bambang langsung dikerumuni para peserta. Mereka menyalaminya secara bergantian. “Semoga jadi, ya, mas Bambang,” ujar seseorang yang menghampirinya. Kilatan foto menyambar wajahnya. Permintaan foto pun tidak terelakkan.
“Ayo foto nanti kalau sudah jadi ‘kan ketua KPK pasti sibuk, pak,” ujar seorang mahasiswa.
Hanya beberapa langkah dari luar kerumunan, seorang mahasiswa pascasarjana berperawakan Indonesia Timur diam-diam memandang sosok Bambang yang sedang membuka senyum lebar-lebar.
“Saya hadir karena ingin tahu apa saja yang ia punya untuk memberantas korupsi. Jika nanti dia terpilih kita semua ‘kan sudah jadi tahu apa saja janji yang ia sampaikan hari ini,” ujarnya.
Sinar Harapan, 27 Oktober 2010
Mengobral Gelar Pahlawan
13 November 2010
Kembalikan Anak Kami, Pak Presiden!
Secercah harapan sempat muncul ketika sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada September tahun lalu menelurkan empat rekomendasi untuk Presiden terkait kasus penghilangan paksa periode 1997-1998 silam. Namun, hingga hari ini, tepat setahun berlalu, harapan itu justru semakin menjauh.
Rencana Dionyus Utomo Rahardjo menginap di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/8) kemarin, gagal total. Bukan karena hujan lebat yang turun sepanjang sore kemarin. Namun, karena aparat polisi dari Kepolisian Resort (Resort) Jakarta Pusat memaksa puluhan orang—termasuk Utomo—membubarkan demonstrasi yang mereka mulai sejak pukul 15.00.
Selepas adzan maghrib, polisi akhirnya mengangkut paksa satu per satu setiap orang yang mengenakan ikat kepala putih bertuliskan “Kembalikan”, yang memilih tetap bertahan duduk melingkari sebuah tenda kemah berwarna merah dan kuning dengan garis biru. Namun, tenda yang terpasang sejak sore itu pun runtuh tertimpa badan para demonstran.
Utomo tiba di Jakarta Senin siang. Meski telah menempuh perjalanan sekitar 20 jam dari rumahnya di Malang, Jawa Timur, namun pria berusia 65 tahun ini mengaku tidak merasa capai. Sepanjang sore kemarin, ia malah tampak begitu bersemangat, terutama ketika berorasi di depan Istana Merdeka.
Ia sengaja datang ke Jakarta untuk ikut aksi menginap bersama sejumlah keluarga korban penghilangan paksa sepanjang periode 1997-1998 lainnya. Dia adalah ayah Petrus Bima Anugerah, seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Airlangga, yang menjadi salah satu korban penghilangan paksa oleh negara pada tahun 1998 di Jakarta.
“Terakhir hilang kontak sekitar 31 Maret 1998, baik itu dengan keluarga maupun kawan-kawannya,” kata Utomo, ketika ditemui SH, di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), kemarin malam.
Meski sudah 12 tahun lamanya mencari tahu keberadaan dan nasib anaknya dalam empat rezim, Utomo tidak pernah hilang semangat. Begitupun dengan keluarga korban yang lain, katanya. “Kami percaya perjuangan kami ini dilandasi oleh iman,” ujarnya.
Keluarga korban, lanjut Utomo, sebenarnya hanya ingin pemerintah dapat memberitahukan dimana keberadaaan anak, kakak, atau adik mereka.” Hidup atau mati kita bisa terima,” ujarnya, lirih.
Utomo tidak sendiri. Bersama dia di antaranya ada Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan. Ketika dinyatakan hilang, yakni sekitar Mei 1998, Ucok merupakan mahasiswa semester enam di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas, Jakarta.
Senada dengan Utomo, Paian mengatakan, pemerintah harus memberitahukan keberadaan dari orang-orang yang dihilangkan secara paksa oleh negara kepada keluarga mereka. “Kami punya hak untuk minta penjelasan dari pemerintah mengenai anak kami yang hilang itu,” tegasnya.
“Kalaupun anak saya sudah meninggal, harus ada pernyataan dari presiden. Ketika lahir anak saya ada akta kelahirannya, kok. Masak meninggal tidak ada catatan,” katanya ketika ditemui di depan Istana Merdeka seusai berorasi.
Kecewa
Walau rekomendasi DPR telah berada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun lalu, namun Mugiyanto dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menilai, tidak ada komitmen dan kemauan politik yang serius dari presiden untuk menuntaskan kasus ini.
Hal itu kemudian, kata Mugiyanto, akhirnya menimbulkan kekecewaan dari keluarga korban terhadap presiden.
“Kami kecewa karena satu tahun sudah lewat, tapi rekomendasi tidak ditindaklanjuti oleh presiden. Kami tidak tahu lagi bagaimana nasib rekomendasi itu saat ini,” ujar Paian.
Empat rekomendasi DPR kepada presiden itu, antara lain pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc, mencari hingga ketemu 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Selain tidak ada keseriusan dari presiden, Mugiyanto menambahkan, ia juga melihat kecenderungan bahwa pemerintah akan lebih mengedepankan pemberian kompensasi kepada keluarga korban supaya tidak menimbulkan “kegaduhan politik” dalam proses penyelesaian kasus penghilangan paksa ini. “Kami sangat kuatir,” katanya.
Padahal, Mugiyanto mengatakan, tuntutan utama yang diinginkan para keluarga korban adalah mengetahui keberadaan dari keluarga mereka masing-masing yang menjadi korban penghilangan paksa. Kompensasi, katanya, sampai kapan pun tidak akan bisa memulihkan hak-hak korban.
Ketidakjelasan atas kasus ini, Mugiyanto berujar, juga akibat dari lemahnya pengawasan DPR terhadap presiden. DPR, kata dia, tidak pernah serius atau tidak memberikan perhatian yang sama atas kasus ini, sama halnya seperti ketika DPR memberikan perhatian kepada Kasus Bank Century.
Menurut Mugiyanto, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk melacak keberadaaan korban-korban penghilangan paksa. Sebab, lanjutnya, sudah ada tiga dokumen penyelidikan yang bisa digunakan, yakni dokumen penyelidikan Komnas HAM atas kasus penghilangan paksa, penyelidikan Tim Mawar Kopassus, dan dokumen hasil Dewan Kehormatan Perwira.
Namun, “Tidak ada kemauan dari presiden untuk mengusut,” ujar Paian, menambahkan.
Namun, secara terpisah Utomo lalu mengatakan, “Kami, keluarga korban, tidak akan pernah lelah berharap karena kami ingin menggugah hati nurani Pak Presiden,” katanya.
Sore kemarin, disadari atau tidak, awan yang awalnya cerah membiru menghiasi langit Istana Merdeka mendadak menghitam, sesaat setelah keluarga korban penghilangan paksa memulai demonstrasi. Tidak berapa lama kemudian, hujan deras pun turun membasahi ibu pertiwi. Para demonstran pun mengembangkan payung-payung berwarna hitam yang mereka bawa.
Sinar Harapan, September 2010
“Rumah Kita” yang Tidak Manusiawi
Disaat masih banyak warga di Republik ini hidup tidak manusiawi, para pejabat di negeri ini justru malah sibuk “memanusiawikan” dirinya sendiri. Menyediakan rumah yang layak adalah kewajiban dan tanggung jawab negara. Namun, Pemerintah gagal menyediakan hal itu.
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita/Tanpa hiasan, tanpa lukisan/Beratap jerami, beralaskan tanah/…. Rumah kita//
Apa yang tersirat sepenggal bait lagu “Rumah Kita” di atas bukanlah suatu gambaran yang fana. Lirik itu mengungkapkan sebuah fakta mengenai kondisi tempat tinggal masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia saat ini, yang bahkan, telah tergambar oleh penciptanya lebih dari 20 tahun silam.
Tengok saja tempat tinggal Mulyanto. Lantai “rumahnya” beralaskan tanah yang telah bercampur dengan bebatuan. Dindingnya menumpang tembok bangunan orang lain. Tidak ada hiasan, apalagi lukisan yang terpajang. Empat potong bambu yang terletak di sisi kanan dan kiri menjadi penyangga tempat tinggalnya.
Dua buah sofa berwarna hijau yang mulai lapuk karena sering terkena panas dan hujan teronggok di “halaman rumah”. Sebuah kasur tidur busa warna hijau yang mulai menghitam tergeletak di dalam. Begitu lembab dan minim cahaya, serta udara. Beberapa lapis terpal yang berlubang di beberapa bagian terbentang membentuk atap.
“Supaya kalau panas, tidak terlalu panas. Jadi adem,” ujar Mulyanto menjelaskan mengenai atapnya itu.
Mulyanto baru saja kelar menghabiskan makan pertamanya pada hari itu, ketika ditemui SH di tempat tinggalnya di pinggir bantaran rel kereta api di Senen, Jakarta Pusat, siang kemarin. Dalam satu hari ia dua kali makan. Penghasilannya sebagai pemulung, kata Mulyanto, hanya cukup untuk makan dua kali sehari.
“Satu hari paling saya dapat sekitar Rp. 10.000-Rp 15.000,” ujarnya. Penghasilan seorang pemulung dalam satu hari, menurut Mulyanto, memang sebesar itu. Namun, bila ada pemulung yang mengaku mendapatkan penghasilan mencapai Rp 50.000 per hari, “Ia seorang pendusta,” katanya.
Oleh karena pekerjaannya sebagai pemulung, maka tidak heran banyak sekali ditemukan rongsokan sampah berserakan di “kediamannya” yang hanya seluas 2X3 meter itu. Mulai dari sofa lapuk hingga kasur tidur busa merupakan hasil dari memulung.
Pria asal Semarang, Jawa Tengah, ini menuturkan, dirinya sudah lama tinggal di Jakarta. Namun, ia lupa secara pasti kapan pertama kali dirinya menginjakkan kaki di Jakarta. Ia hanya ingat, “Saat ‘Harimau Jakarta’ atau Bang Husni meninggal saya sudah ada di sini,” katanya, yang mengaku berusia 110 tahun ini.
Ia juga tidak ingat lagi tahun kelahirannya. “Hanya ingat hari itu Jumat Kliwon tanggal 15 bulan,” ujarnya. Yang pasti, kata dia, “Saya ini dulu pernah jadi serdadu Juliana dan BEPRI.” Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau adalah Ratu Belanda periode 1948-1980, sedangkan BEPRI adalah gerilyawan pejuang masa kemerdekaan.
Mulyanto sebenarnya punya tabungan sebesar Rp 550.000, yang sejak sebelum Lebaran sudah ia kumpulkan melalui seseorang yang ia kenal. Namun, orang itu membawa duitnya kabur. Rencananya uang itu akan digunakan untuk ongkos pulang ke kampung. “Akhirnya saat Lebaran saya hanya meringkuk saja di dalam. Tapi saya sudah kumpul lagi, sekarang sudah terkumpul Rp 115.000,” ujarnya.
Beratapkan langit
Kondisi serupa juga dialami Yanto (45) yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. “Rumahnya” di suatu persimpangan jalan di daerah Cipinang, Jakarta Timur, malah tak beratap dan tidak ada dinding, serta hanya beralaskan trotoar jalan. Ia telah lama tinggal menetap di sana, dan sejak tahun 1988 sudah berada di Jakarta.
Bersamanya ada sekitar 10 orang, yang punya pekerjaan sama seperti dirinya, yakni pemulung. Bila malam tiba, ia dan kawan-kawannya membentangkan terpal di lantai yang kotor dan disesaki rongsokan sampah itu untuk dijadikan sebagai alas. Cuaca panas dan dingin sudah biasa bagi dirinya.
“Kalau hujan tinggal pasang terpal,” katanya.
Menjalani hidup seperti ini terpaksa ia lakukan. Sebab, “Tidak punya tempat tinggal lain di Jakarta.” Sebenarnya, ia punya rumah di Karawang yang kini ditempati oleh istri dan anaknya berusia 11 tahun. Namun, karena ketiadaan lapangan pekerjaan, terpaksa ia hidup dan mencari duit dari mengais sampah di Jakarta.
“Kalau lagi lumayan sehari saya bisa dapat Rp 30.000,” ujarnya.
Meski tinggal di trotoar jalan, bukan berarti “rumah” yang ditempatinya itu gratis. Setiap bulan, kata Yanto, ia harus merogoh kocek sebesar sebesar Rp 100.000 untuk membayar “uang sewa” ke petugas Satpol PP yang tidak pernah absen menyambanginya. Itu belum termasuk uang rokok atau kopi yang wajib ia berikan ketika ada petugas Satpol PP patroli.
“Kalau nggak dibayar mereka marah dan mengancam akan mengangkut kami,” katanya.
Ketika SH meminta tanggapannya soal anggaran perbaikan rumah pejabat di negeri yang sampai miliaran bahkan triliunan rupiah, ia hanya tersenyum. “Beda praktek dengan teori dan fakta.” Hanya itu jawaban yang meluncur dari bibirnya.
Sinar Harapan, September 2010
Menuai Rezeki dari Jasa PRT
Seusai Lebaran, yayasan-yayasan penyalur rumah tangga (PRT) dibanjiri banyak tenaga baru yang berusia muda. Sejalan dengan itu, permintaan atas jasa PRT pun meningkat. Namun, meski siap bekerja, sebagian besar dari mereka sama sekali tidak terlatih atau punya pengalaman.
“Bunda… Saya minta tolong dong. Minta infonya mengenai yayasan penyalur pembantu yang bisa dipercaya. …Terima kasih sebelumnya,” demikian pesan di sebuah mailing list yang ditulis oleh salah seorang anggotanya pada 15 September lalu.
Sebaliknya, ada juga testimoni, baik yang terdengar secara langsung maupun di dunia maya, yang pada intinya kapok menggunakan jasa penyalur PRT. Tengok komentar dari seseorang dalam sebuah forum di dunia maya berikut ini.
“Jangan pernah mengambil PRT dari yayasan manapun. Pengalaman pribadi, sudah capek ambil PRT dari yayasan. Belum lama bekerja sudah minta pulang. Sudah gitu yayasan susah diminta pertanggungjawaban,” keluh orang ini.
Meski demikian, toh, sampai sekarang masih banyak saja orang yang mencari jasa penyalur pekerja rumah tangga. Tentu, ada beragam alasan mengapa masih ada yang mempercayakan jasa penyalur PRT. Begitupun sebaliknya, banyak juga yang sudah tidak lagi mempercayai jasa penyalur PRT.
Dedi, karyawan Yayasan Mangasi di Jakarta Barat mengatakan, meski banyak keluhan datang namun permintaan atas PRT masih terus ada. Sayang, ia tidak dapat memperkirakan berapa banyak PRT yang tersalurkan setiap harinya. Hanya saja, kata dia, setelah Lebaran permintaan bisa mencapai 20 orang PRT per hari.
Di Yayasan Mangasi, kata Dedi, untuk membawa seorang PRT mesti menyetorkan biaya administrasi sebesar Rp 900.000, dan seorang perawat atau baby sitter sebesar Rp. 1.000.000. “Untuk biaya ganti ongkos membawa PRT dari kampungnya ke Jakarta,” katanya, saat ditemui SH, Senin (20/9) petang.
Dari seorang PRT saja, kata Dedi, pihak yayasan bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 400.000 per orang. Sisa duit, kata dia, diberikan kepada sponsor yang telah membawa para calon PRT ke Jakarta. Di Yayasan Mangasi, kata Dedi, ada belasan sponsor yang bertugas mencari para calon PRT yang kebanyakan berasal dari Lampung, Pandeglang, Cianjur, dan Sukabumi.
Mengenai gaji, kata Dedi, antara PRT dengan perawat atau baby sitter berbeda-beda. Gaji seorang perawat atau baby sitter lebih besar ketimbang PRT, yakni mulai dari Rp. 1.000.000 hingga Rp. 1.500.000 per bulan. “Tergantung yang akan diurus siapa, balita, bayi atau jompo. Semakin sulit orang yang diasuh, maka gaji semakin mahal,” katanya.
Yang menyebabkan gaji perawat atau baby sitter lebih mahal, kata Dedi, itu karena mereka sudah dilatih dan terlatih. Di yayasannya, calon pekerja akan mendapatkan pelatihan di RS Jiwa di Grogol. Mereka bisa mendapatkan pelatihan di RS karena pemilik yayasan berprofesi sebagai perawat.
Bila sudah bekerja, kata Dedi, seorang perawat atau baby sitter akan dikenakan potongan gaji sebesar Rp 2.000.000. “Itu untuk biaya pelatihan mereka yang kami tanggung,” katanya. Namun, kata Dedi, untuk gaji PRT tidak akan dipotong karena tidak ada biaya pelatihan apa pun untuk PRT.
Dedi mengatakan, menentukan gaji seorang PRT juga tergantung dengan kesepakatan antara pekerja, majikan dan pihak yayasan. Pihaknya menawarkan gaji sekitar Rp 600.000 per bulan. Namun, kata dia, bila tidak sesuai harga itu masih bisa dibicarakan antara majikan dengan calon PRT.
“Kalau pembantunya oke, silahkan, tapi kalau pembantu nggak mau dengan gaji yang ditawarkan majikan, ya, batal,” katanya. Dedi bilang, gaji seorang PRT yang sama sekali belum punya pengalaman Rp 450.000 per bulan.
Permintaan Meningkat
Permintaan PRT menjelang dan setelah lebaran cukup banyak. Sebab, banyak PRT yang pulang merayakan Lebaran di kampung halaman. Tidak jarang, meski Lebaran telah usai, banyak yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak lagi kembali ke Jakarta. Alasannya beragam.
“Ada yang kawin, ada yang tidak dibolehkan lagi bekerja oleh orangtua atau suaminya. Banyak deh alasannya,” katanya.
Setiap tahun, Dedi mengatakan, sebagian besar PRT-PRT yang disalurkan oleh yayasannya baru. Sejak tanggal 15 September lalu, katanya, ada sekitar 70 orang calon PRT yang datang dari kampung. “Semuanya orang baru,” katanya. Usia mereka, kata dia, rata-rata masih belia yakni antara sekitar 16-18 tahun.
Ia memperkirakan permintaan meningkat hingga 40 persen. Bahkan, kata dia, permintaan yang datang setelah Lebaran semakin banyak, tetapi persediaan PRT tidak ada. “Permintaan ada, tapi ‘stok’ nggak ada,” katanya. Jadi, kata dia, tidak ada seorang pun calon PRT yang mesti menunggu lama di tempat penampungan. “Jadi begitu tiba di sini, mereka langsung berangkat ke tempat majikan masing-masing,” katanya.
Dalam satu tahun, Dedi mengaku yayasan tempatnya bekerja bisa menyalurkan sekitar 800 orang PRT dan perawat.
Sama halnya dengan Yani, pegawai yayasan penyalur pekerja rumah tangga di bilangan Jakarta Timur. Ia mengatakan, sejak menjelang Lebaran, terutama pada saat Lebaran tiba, banyak permintaan atas PRT sementara (infal) yang datang.
“Biasanya mereka para majikan yang pekerjaan rumahnya sudah sangat bergantung dengan PRT, maka ketika PRT pulang kampung mereka kelimpungan dan akhirnya mencari pembantu infal,” katanya.
Sinar Harapan, September 2010
Kejar Daku Kau Dibayar
Saat musim mudik tiba, para porter atau kuli panggul berharap bisa mendapat pendapatan lebih besar dari pemudik. Pemudik yang membawa barang banyak terbantu oleh keberadaan para kuli panggul.
Agus mengamati satu per satu setiap mobil yang masuk ke dalam Stasiun Gambir. Sebuah mobil sedan berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia kemudian berjalan agak pelan menghampiri mobil tersebut. Sang penumpang turun dan membuka bagasi belakang mobil yang ia tumpangi untuk mengambil sebuah tas hitam besar.
”Mau dibantu mengangkat barang-barangnya, Pak? Tanya Agus menawarkan jasa kepada si penumpang itu yang kemudian dijawab dengan lima jari, tanda menolak bantuan jasa yang ia tawarkan. Agus pun menghentikan langkah kakinya.
Pria asal Depok ini bercerita, dirinya sudah sekitar delapan tahun menjadi kuli panggul di Stasiun Gambir. Sebelum menjadi kuli panggul, ia mengais rezeki di Depok. Seorang kerabat kemudian yang mengajaknya mencari nafkah di Stasiun Gambir sebagai kuli panggul. ”Saya dengar cari duit di Jakarta bisa dapat lebih besar,” katanya, saat berbincang dengan SH, Kamis (2/9).
Di Stasiun Gambir, kata Agus, ada 250 orang kuli panggul. Para kuli panggul ini terbagi menjadi dua kelompok, yang bekerja secara bergantian. ”Satu hari kerja, satu hari libur,” ujarnya. Saat bekerja mereka wajib memakai seragam yang disponsori sebuah perusahaan penyedia jasa telekomunikasi.
Karena saking banyaknya kuli panggul, kata Agus, ia harus bisa cekatan mengejar para penumpang untuk menawarkan jasa mengangkut barang. Terlebih, kata pria berusia 43 tahun ini, kini sudah banyak kuli panggul yang berusia 20-an tahun. Meski saling bersaing mendapatkan penumpang, kata Agus, ”Tak pernah ada yang berkelahi karena berebut penumpang di sini,” katanya.
Sementara itu, Bei, warga Bangkalan, Madura, Jawa Timur, yang sudah menjadi kuli panggul di Stasiun Senen selama lima tahun mengatakan, selama bekerja ia kerap minum jamu dan pijat selepas bekerja untuk menjaga stamina.
Di Stasiun Senen, Bei bekerja setiap hari mulai pukul 04.00 pagi hingga pukul 22.00. Selama di Jakarta, ia tinggal di stasiun yang dianggap sudah menjadi rumah kedua bagi dirinya.”Pulang ke kampung kalau Lebaran aja,” katanya.
Bei lupa berapa usianya kini. Keriput di seputar wajah memperlihatkan usianya tak lagi muda. Ketika SH menyebut angka 60, ia hanya menganggukkan kepala. ”Tapi Bapak saya di kampung sudah mencatat kapan saya lahir,” katanya.
Dibanding Agus, sepak terjang Bei di lapangan memang agak berbeda. Agus lebih cekatan dan lincah mendapatkan penumpang kereta api, sementara Bei tak begitu banyak bergerak. Ia hanya memperhatikan gerak-gerik calon penumpang dari jauh.
Agus mengatakan, menjadi kuli panggul memang harus aktif menawarkan jasa angkut barang agar mendapatkan receh dari para penumpang. Tak hanya sekadar menunggu. Namun, kata Agus, tak jarang meski sudah berputar-putar di stasiun, dan bahkan berlari mengejar penumpang, tak sepeser pun duit yang ia dapat. ”Hanya dapat capek aja,” katanya.
Menurut Agus, kebanyakan para kuli panggul yang ada di Stasiun Gambir antara satu sama lain masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga. Adik ipar Agus juga bekerja sebagai kuli panggul di Stasiun Gambir. ”Bahkan ada bapak dan anak yang sama-sama jadi kuli panggul di sini. Jadi, turun-temurun-lah,” katanya.
Pendapatan tak menentu
Agus mengatakan, pendapatannya menjadi seorang kuli panggul tak menentu. Jika sedang ramai penumpang, pendapatannya bisa mencapai Rp 100.000 per hari. Tapi, kalau sedang sepi penumpang paling sedikit ia hanya bisa mendapatkan uang Rp 30.000 per hari.
Sementara itu, Bei menyebut pendapatannya naik-turun. Ia sulit mengira pendapatan yang pasti dalam satu hari. Pada hari-hari biasa, ia bisa mendapatkan uang sekira Rp 50.000 per hari. Kalau sedang ramai penumpang, apalagi musim mudik seperti saat ini, pendapatannya bisa dua kali lipat lebih besar. Bahkan, satu hari, ”Pernah cuma dapat Rp. 5.000,” katanya. Tak mendapatkan sepeser pun uang pernah juga ia rasakan.
Baik Agus maupun Bei, sepakat besar-kecilnya pendapatan seorang kuli panggul tergantung dari besar-kecilnya pemberian dari para penumpang. Sebab, tak ada tarif pasti yang mereka tentukan untuk mengangkut barang para penumpang. Biasanya, ia mendapatkan imbalan Rp 10.000 – Rp 20.000 atas jasa mengangkut barang dari para penumpang. Tergantung negoisasi harga.
Kadangkala, kata Agus, ia mendapatkan penumpang yang terlihat necis dan diharapkan memberikan uang agak lumayan, namun hanya memberikan uang recehan. Tak setimpal dengan bobot dan jumlah barang yang diangkut, katanya. ”Saya pernah bawa barang, sudah banyak dan berat lagi, tapi hanya dikasih goceng. Padahal naik Mercy,” ujarnya.
Saat hari raya Lebaran, kata Agus, duit yang ia dapat bisa lumayan besar karena sebagian besar kuli panggul merayakan Lebaran atau pulang kampung. ”Bisa dapat Rp 150.000,” katanya. Ia pernah beberapa kali bekerja saat Lebaran, namun itupun ia lakukan setelah silahturahmi dengan keluarga. ”Daripada di rumah nggak dapat duit,” ujarnya.
Pendapatan Agus selama ini dipergunakan untuk mengebulkan asap dapur di rumahnya. Namun, uang yang ia bawa pun belum cukup karena ia mesti membayar uang sekolah kedua anaknya. ”Jadi kalau pulang ke rumah utang di warung sudah banyak,” katanya, tersenyum.
Sementara itu, Bei mengatakan, uang yang ia dapat dikirimkan untuk keluarganya di kampung. Ia punya seorang istri dan tiga anak yang seluruhnya telah ia sekolahkan hingga SMP. Selain itu, kata dia, uang yang ia dapat untuk memperbaiki rumah di kampung. ”Ya, pokoknya bisa seperti tetangga-tetangga sebelah rumah,” ujarnya.
Sinar Harapan, September 2010
Geliat Bisnis ”Para Bankir” di Terminal
Empat orang perempuan tengah duduk di ruang tunggu penumpang bus antar kota antar provinsi (AKAP) Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Rabu (1/9), siang kemarin. Mereka membawa tas berukuran cukup besar dengan segepok uang yang tergenggam di tangan.
Namun, mereka bukan calon pemudik yang sedang menanti bus untuk kembali pulang ke kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari raya Lebaran. Mereka adalah para penukar uang yang menawarkan penukaran uang receh kepada para calon pemudik.
Para penukar uang receh ini menawarkan jasa penukaran uang dengan beragam nominal, mulai dari nominal Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Salah seorang penukar uang receh sempat menawarkan SH uang pecahan dengan nominal Rp 1.000 sebanyak Rp 100.000 seharga Rp 115.000.
Perempuan muda asal Nias yang enggan menyebutkan namanya itu mengatakan, harga yang ditawarkan oleh ”bank” mereka memang lebih mahal sedikit ketimbang saat kita menukarkan uang di bank resmi. Namun, ”Kami hanya mengambil untung sedikit, kok,” katanya.
Sayang, ia enggan menjelaskan lebih jauh soal keuntungannya itu. Namun, ia memastikan uang yang ditawarkan merupakan uang asli yang ditukar dari bank resmi. Saat ditunjukkan kepada SH, uang yang ditawarkan memang masih menggunakan pita resmi Bank Indonesia.
Gultom, seorang karyawan dari salah satu perusahaan bus AKAP yang telah 10 tahun bekerja di Terminal Kampung Rambutan mengatakan, keberadaan para penukar uang receh sebenarnya sudah ada sejak lama. ”Hari-hari biasa mereka juga ada di sini, tapi tak banyak” katanya.
Namun, kata Gultom, setiap menjelang hari raya Lebaran jumlah mereka yang pada hari biasa tak begitu bisa bertambah banyak. ”Bisa ratusan orang,” katanya, sambil tertawa. Sebagian besar penukar uang receh merupakan perempuan.
Hal itu dibenarkan An, salah seorang penukar uang receh, ketika berbincang dengan SH. Ia mengatakan, saat dirinya mulai bekerja pada Jumat (27/8) lalu hanya ada lima orang penukar uang receh yang beredar di Terminal Kampung Rambutan.
Namun, kata dia, hingga Rabu (1/9) kemarin jumlah penukar uang receh sudah mencapai 25 orang. ”Katanya bisa terus bertambah banyak hingga lebaran nanti,” kata An, yang mengaku baru tahun ini menjadi penukar uang receh.
Ia mengaku mendapatkan uang tersebut dari bosnya yang sudah sejak jauh hari menukarkan uang di bank, sebelum bulan Ramadan tiba. ”Kalau menukarnya sekarang-sekarang ini tak mungkin mau orang bank-lah, bang,” katanya.
An mengatakan, alasan ia menjadi penukar uang receh karena keuntungan yang dijanjikan cukup menggiurkan. Keuntungan yang ia dapat dari menjual pecahan uang receh sebesar Rp 50 ribu per hari. ”Dapat sebesar itu juga kalau sepi-sepinya,” katanya.
Sebenarnya An adalah seorang pedagang kue yang bahannya ia dapatkan dari suaminya yang bekerja di pabrik kue di daerah Jakarta Timur. Keuntungan yang ia dapat dari menjual kue padahal lebih besar daripada menjadi penukar uang receh, yakni bisa mencapai Rp 100.000 per hari.
Tapi, karena bulan puasa makanya ia beralih profesi selama bulan Ramadan menjadi penukar uang receh. Menjadi penukar uang receh, kata dia, harus lincah. Maka dari itu, An mengatakan, selain menawarkan ke calon pemudik yang berada di ruang tunggu terminal, ia juga ”mengejar” pemudik hingga ke dalam bus.
An mengaku, keuntungan yang ia dapat dari menjual jasa penukaran uang receh tidak begitu besar. Ambil contoh, dari hasil menjual uang pecahan nominal Rp 1.000 ia hanya mendapat keuntungan Rp 2.000.
Selain uang pecahan nominal Rp 1.000, ia juga menawarkan uang pecahan nominal Rp. 2.000 sebanyak Rp 200.000 dengan harga Rp 220.000, Rp. 5.000 sebanyak Rp. 500.000 dengan harga Rp 550.000, dan Rp 10.000 sebanyak Rp 1.000.000 dengan harga jual Rp 1.100.000.
Dari menjual uang pecahan Rp 2.000 dan Rp. 5.000 ia mengaku hanya mendapakan keuntungan Rp 3.000. Sementara, bila menjual uang pecahan Rp 10.000 ia bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 30.000.
An mengatakan, sisa keuntungan yang ia dapat dari menjual setiap pecahan uang receh sebagian besar untuk bos yang menjadi pemodal. ”Lumayan untuk beli susu anak” kata ibu dari dua anak ini.
Sinar Harapan, September 2010