22 Juni 2011

Memoar dari Para Sahabat

...Kita masing-masing harus belajar saling mengambil serta memberi, menunjukkan harmoni dalam banyak hal. Jika satu pihak saja hendak melaksanakan kemauannya secara keras, maka satu ketika akan terjadi konflik.

Jakarta, 1 Oktober 1946


Selarik kalimat tertoreh dalam satu surat yang ditulis oleh Rosihan Anwar dari Jakarta dengan penuh rasa kerinduan yang terpendam kepada tunangannya, Zuraida Sanawi, yang sedang berada di Yogyakarta.

Mungkin surat itu adalah korespondensi yang kesekian kalinya dilakukan antara dua insan manusia yang sedang jatuh dalam romantika cinta dan perjuangan dalam balutan suasana revolusi di Indonesia, sepanjang tahun 1946-1947.

"Romantika mereka adalah romatika perjuangan," kenang Toety Heraty Noerhadi-Roosseno, saat peluncuran buku yang merupakan karya terakhir Rosihan Anwar, "Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi", di Jakarta, Mei lalu.

Toety memandang, jalinan cinta yang dibangun Rosihan dan Zuraida sebagai revolusi. Disebut revolusi bukan karena hubungan itu terjalin pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan. Namun karena keputusan mereka melawan tradisi perjodohan yang ketika itu begitu lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. "Itu sudah revolusi," ujar guru besar filsafat ini.

Rosihan, kata Toety, kritis, jujur dan sederhana. Sedangkan Ida--begitu Zuraida disapa--perempuan yang ditemui Rosihan pertama kali di kantor redaksi harian Asia Raja adalah sosok yang lembut, namun tegar dan tegas. Terkadang, kata Toety, saking yakin terhadap sesuatu Rosihan tampak angkuh.

Meski demikian, Toety mengatakan, "keangkuhan" Rosihan sirna saat berhadapan dengan Zuraida, perempuan yang menerima curahan kalbunya di atas becak dalam cahaya yang temaram. Suatu ketika, Toety bercerita, Rosihan ditawarkan posisi duta besar di Vietnam oleh Presiden Soeharto. Namun, tawaran itu ditolak Rosihan. Itu terjadi sekitar tahun 70-an.

Konon, selain tersembunyi makna politik di balik penolakan itu, sosok Zuraida turut berperan besar menghentikan langkah Rosihan terbang ke Hanoi, Vietnam. "Nee, jeet gaat niet. Tidak, kau tidak pergi," jawab Zuraida dalam bahasa Belanda kepada Rosihan.

Putri bungsu proklamator M Hatta, Halida Nuriah Hatta, turut merasakan cinta yang sangat besar antara Rosihan dan Zuraida. Saat berjalan dengan Zuraida, kata Halida, Rosihan selalu terlihat menggandeng tangan istrinya itu.

Halida melihat prinsip asah, asih, asuh diterapkan dalam hubungan mereka. "Begitu manisnya om Rosihan," kenang Halida yang memanggil Rosihan dan Zuraida dengan sebutan "om" dan "tante". Hal serupa dirasakan Fadli Zon, politikus muda di Partai Gerindra, yang mengaku mendapat keistimewaan bisa berkenalan dengan Rosihan.

Fadli berjumpa Rosihan pada September 2010, ketika hendak mengambil mesin tik kuno milik Rosihan yang diberikan kepada dirinya, karena sang wartawan lima zaman itu mulai diajari cucunya menggunakan komputer.

"Fadli, kamu tahu istri saya itu rose from Batavia," kenang Fadli mengingat apa yang disampaikan Rosihan tentang sang istri saat berjumpa dengan dirinya pada waktu itu. Rosihan benar, Zuraida memang cantik bagai bunga.

Pemimpin Umum harian Kompas Jakob Oetama juga memiliki kenangan dengan Rosihan. Dia mengaku banyak belajar dari Rosihan yang usianya lebih tua sembilan tahun. Ilmu jurnalistik, ia pelajari dari sejumlah wartawan senior, di antaranya Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar.

Jakob mengatakan, kedekatan antara dirinya dengan Rosihan bukan hanya tergambar seperti hubungan guru dan murid. "Saya dekat dengan beliau secara ideologi," ujar Jakob yang sejak muda mengaku telah menjadi penganut Sutan Sjahrir, tokoh sosialis di Indonesia.

Rosihan, kata Jakob, pernah mengatakan kepada dirinya: melakukan sesuatu jangan pernah setengah-setengah. Jadi wartawan pun jangan setengah-setengah. Selain ilmu jurnalistik, Jakob mengaku juga banyak belajar soal sikap dan pandangan hidup dari Rosihan.

Sementara itu, Adnan Buyung Nasution menempatkan Rosihan dalam figur Ayah. "Saya kenal beliau saat berusia 10 tahun," ujar pria berambut perak yang sekarang berprofesi sebagai pengacara. Adnan Buyung mengenal Rosihan ketika ayahnya, R Rachmat Nasution, memimpin kantor beritaDomei. Rosihan memanggilnya si Buyung Kecil.

Konsisten dan selalu memberi semangat kepada setiap orang adalah sikap Rosihan yang selalu dikenang oleh Adnan Buyung. Dalam menyampaikan sesuatu, kata Adnan Buyung, "Beliau (Rosihan) menyampaikannya berbeda,".

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, kata Adnan Buyung, berbeda saat menyampaikan sesuatu. "Mochtar Lubis lebih konfrontatif, menyerang langsung. Sedangkan, Rosihan menyampaikan dengan cara yang manis."

Di antara para sahabat, mungkin hanya Daniel Dhakidae yang memulai perkenalan dengan Rosihan agak kurang "manis". "Perkenalan kami lebih saklek," ujar doktor politik ini. Ketika itu, kata Daniel, ia hendak menyelesaikan disertasi soal pers di Indonesia.

Sebagai wartawan senior, kata dia, Rosihan akan dijadikan narasumber untuk disertasinya. Namun, hingga disertasi hampir selesai ditulis Rosihan selalu mengelak. "Akhirnya, saya kirim surat dan saya tulis di surat itu: 'Pak Rosihan, saya akan tetap menyelesaikan disertasi ini, dengan atau tanpa Pak Rosihan'." Rosihan pun bersedia bicara dengan Daniel.

Keluarga dan sahabat banyak melihat ada perubahan drastis dari diri Rosihan sejak ditinggal pergi Zuraida, teman hidupnya selama 36 tahun pada 5 September 2010. "Ia menjadi enggan menulis," ujar Omar Lutfi Anwar, putra kedua Rosihan.

Belum genap setahun, 14 April 2011, Rosihan kemudian menyusul sang belahan jiwanya. "Saya merasa ada satu kehampaan," ujar Halida yang kerap melihat Rosihan semasa hidup berjalan kaki melewati depan kediaman orangtuanya. Keluarga Hatta bertetangga dengan Rosihan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Bagi Halida, Rosihan tak ubahnya kamus berjalan. Meski telah pergi meninggalkan dunia fana, Rosihan telah mengajarkan sikap konsisten dan pandangan hidup kepada banyak orang. "Ini satu keteladanan hidup," kata Halida.


Sinar Harapan, 17 Juni 2011, dengan judul "Zuraida, Sang Belahan Jiwa".