30 April 2011

Sang Pejuang Ditolak di Makam Pahlawan

Heru Atmojo layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya.

Tanah liang kuburnya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta belum kering. Masih belum juga seratus hari jenazah mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara Republik Indonesia berpangkat Letnan Kolonel Penerbang ini menempati rumah peristirahatan terakhirnya.

Namun, menjelang tengah malam pada 25 Maret 2011 lalu, makam Heru Atmodjo ini dibongkar dan jenazahnya dikeluarkan dari liang kubur oleh pihak TNI AU.

Pembongkaran ini tentu menyakitkan pihak keluarga, terutama bagi anak-anak Heru. Sebab, ayah mereka yang dianggap pejuang justru dipaksa keluar dari Makam Pahlawan.

Menurut Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, selepas makam dibongkar, baru keesokan paginya jenazah Heru diterbangkan ke Malang, Jawa Timur.

Bedjo yang mendapat cerita dari pihak keluarga mengatakan, jenazah Heru kini dimakamkan di sebelah pusara ibundanya di Desa Bangil, Sidoardjo.

Bedjo kemudian bercerita saat dirinya hadir pada pemakaman Heru di TMP Kalibata 29 Januari 2011 lalu, Heru dimakamkan layaknya seorang pejuang.

Sebuah upacara militer digelar oleh TNI Angkatan Udara. Tujuh prajurit TNI AU berdiri di samping peti melakukan tembakan salvo sebagai bentuk penghormatan terakhir.

"Pihak Angkatan Udara lalu menyerahkan bendera pusaka sebagai tanda penghormatan kepada Heru yang diterima oleh Suluh, kakak ipar Heru Atmodjo," kata Bedjo.

Ternyata hampir tiga bulan kemudian, salah seorang anggota keluarga Heru memberi tahu Bedjo bahwa makam Heru akan dibongkar kembali. Sebelum pembongkaran, tujuh tentara mendatangi rumah anak pertama Heru Atmodjo, yakni Ibnu Baskoro, di Cibubur, Jakarta Timur.

"Mereka tentara Angkatan Darat yang datang dari Cilangkap," tutur Bedjo. Ia mengatakan, pembongkaran makam itu dengan dilakukan paksaan dan ancaman.

Siaran pers Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 juga menyebutkan, pemindahan jenazah Heru Atmodjo dilakukan oleh keluarga dalam keadaan terpaksa. Memang, pertengahan Maret lalu sekelompok orang dari Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) berunjuk rasa di Kantor DPRD Jawa Timur.

Mereka menganggap jenazah Heru tidak layak dimakamkan di TMP Kalibata karena dia komunis yang terlibat dalam G30S 1965. Tak lama kemudian, tujuh tentara Angkatan Darat yang mengaku dari Markas Besar TNI di Cilangkap, dengan berpakaian dinas dan sipil, mendatangi pihak keluarga dan meminta paksa agar mereka memindahkan jenazah Heru.

Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menjelaskan, pembongkaran makam Heru Atmodjo sudah sesuai aturan. "Sesuai perundang-undangan, tak tepat (almarhum) dimakamkan di situ, sehingga harus dipindahkan," katanya.

Sepertinya, yang dimaksud Agus adalah UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam UU tersebut dikatakan, orang yang berhak dimakamkan di TMP adalah warga negara Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan Nasional, menerima tanda kehormatan Bintang Republik dan Bintang Mahaputera.

Direktur Kepahlawanan Kementerian Sosial, Hartati Soleha, mengemukakan Kementerian tidak memiliki hak untuk mengusulkan atau mencabut tanda atau bintang kehormatan atas seseorang.

"Untuk perihal bintang kehormatan berada di tangan sekretaris militer," ujarnya. Ia pun mengaku tidak tahu-menahu alasan detail mengapa makam Heru dibongkar.

Dituduh Terlibat G30S

Sejarawan Asvi Warman Adam menduga, pembongkaran makam Heru dilakukan karena Heru dituduh mengetahui rencana pemberontakan G30S tahun 1965. Namun, kata Asvi, Markas Besar TNI dan Angkatan Udara tetap harus memberi alasan yang jelas soal pembongkaran makam Heru.

Terlepas dari terlibat atau tidaknya Heru dalam G30S, menurut Asvi, Heru layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya.

Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2010, terutama Pasal 5 Ayat 3a menyebutkan: Bintang Gerilya masuk dalam salah satu kriteria Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Itu artinya Heru memiliki hak untuk dimakamkan di TMP, lanjut Asvi.

Ia menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memperhatikan betul persoalan ini. Sebab Presiden sendiri yang memberi lampu hijau agar penerima Bintang Gerilya bisa dimakamkan di TMP.

Lampu hijau diberikan Presiden setelah diprotes oleh para legiun veteran yang merasa "perjuangan mereka dilupakan" lewat persyaratan UU No 20 Tahun 2009.

"Jika UU tersebut tidak direvisi, hak pejuang yang menerima Bintang Gerilya untuk dimakamkan di taman makam pahlawan bisa terancam," kata Asvi.

Untuk itu, ia mengingatkan, yang perlu dipertanyakan adalah orang-orang yang bukan Pahlawan Nasional atau tidak pernah berjuang pada masa kemerdekaan, namun ketika zaman Soeharto mendapat tempat di Taman Makam Pahlawan karena diberi Bintang Mahaputera.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam suratnya tertanggal 27 April 2011 kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengingatkan, pemindahan makam jenazah seharusnya melalui keputusan hukum yang setara, baik dengan keputusan hukum pemberian Gelar Bintang Gerilya maupun keputusan hukum yang dikeluarkan untuk pemakaman di Taman Makam Pahlawan.

Kontras juga mengatakan, dugaan keterlibatan Heru Atmodjo dalam peristiwa G30S tidak bisa hanya didasarkan pada stigma, kecurigaan, dan desakan pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harus melihat fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh.

Heru sendiri telah membantah keterlibatannya dalam peristiwa G30S. Apalagi, sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair, jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.


Sinar Harapan, 28 April 2011