16 Agustus 2008

Nyanyian Tentang Rumah Kita


Hanya bilik bambu tempat tinggal kita tanpa hiasan tanpa lukisan // Beratap jerami beralaskan tanah // Namun semua ini punya kita // Memang semua ini milik kita sendiri // Hanya alang-alang pagar rumah kita tanpa anyelir tanpa melati // Hanya bunga bakung tumbuh di halaman // Namun semua itu punya kita // Memang semua ini milik kita sendiri // Lebih baik di sini // Rumah kita sendiri //


Penyanyi rock tua berambut kribo itu begitu bersemangat melantukan syair sebuah lagu di atas. Hingga urat-urat di lehernya terlihat jelas. Suara lengkingan gitar sang sahabat yang menciptakan lagu tersebut di pertengahan tahun 80'an, turut mengiringinya. Di hadapan mereka, puluhan orang muda duduk berjajar. Jutaan pasang mata lainnya juga ikut menonton dari layar televisi. Mereka sedang bersiap merayakan kelahiran Republik yang mereka cintai. Indonesia.

Lewat nyanyian tersebut, duo rocker itu ingin mengingatkan kita agar berbangga diri dengan apa yang ada dan kita punya di Republik ini. Mereka berbicara tentang Rumah Kita. Kepunyaan kita. Meski itu hanyalah sebuah tempat tinggal dengan bilik-bilik bambu, beralaskan tanah dan berpagarkan alang-alang namun, sebut dalam syair itu: semua itu milik kita. Milik kita sendiri.

Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul ketika kita saat ini sedang berada dalam perjalanan panjang menuju menjadi satu bangsa besar dan merdeka yang kini telah berumur lebih dari separuh abad itu. Masihkah tempat yang hanya berbilik bambu, beralas tanah dan berpagar alang-alang itu milik kita? Milik kita sendiri, seperti yang dikatakan dalam syair lagu tersebut.

Lagu tersebut kemudian membawa ingatan saya kembali pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2001. Saya masih duduk di kelas dua SMA. Saya sendiri saat itu aktif di Gerakan Solidaritas Pelajar Jakarta (GSPJ), enkleaf dari PIJAR Indonesia. Kawan-kawan PIJAR sering mengajak saya mengunjungi sebuah perkampungan nelayan di Ancol Timur, Jakarta Utara. Di sana, mereka tengah melakukan kerja advokasi di perkampungan nelayan yang akan digusur oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Perkampungan nelayan itu cukup luas. Hampir seribu jiwa tinggal di sana. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesisir Pantai Utara, di daerah Jawa Barat. Kalau saya tidak salah ingat, salah satu nama daerahnya Cirebon. Akan tetapi, mereka sudah lama meninggalkan daerah asal mereka dan memutuskan tinggal di daerah itu hingga puluhan tahun. Maka tidak heran jika ada warga yang sudah beranak pinak di sana, bahkan hingga memiliki cicit.

Letak perkampungan ini berada persis di sebelah kawasan PLTU Ancol Timur. Tepat di bibir pantai pesisir pantai Ancol Timur. Jaraknya kira-kira hanya sekitar 1,5 kilometer dari Terminal Tanjung Priok.

Untuk pertama kali, menuju ke sana mungkin gampang-gampang susah. Itu karena, letaknya yang tidak berada dekat dengan jalan raya besar yang menghubungkan Tanjung Priok-Kota. Masih ada sekitar 500 meter lagi dari jalan raya besar yang merupakan pintu masuk untuk menuju ke perkampungan tersebut. Dengan berjalan kaki butuh waktu 15 menit.

Rata-rata rumah warga di sana hanya berdinding triplek. Tidak ada satu pun rumah memiliki pagar. Hanya segelintir warga saja yang sudah berdinding batu dan beratapkan seng. Itu pun sudah termasuk rumah golongan "mewah" di kawasan tersebut. Rumah-rumah di sana pun tak mengenal istilah surat kepemilikan tanah dan mendirikan bangunan, seperti umumnya surat-surat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan pemerintah dan selalu dijadikan alat pemerintah untuk seenaknya menggusur tanah dan bangunan apa saja.

Saya sendiri tidak tahu persis seperti apa sistem dan mekanisme kepemilikan tanah yang digunakan warga di perkampungan tersebut. Saya hanya bisa menerka-nerka. Mungkin, siapa pun yang tinggal terlebih dahulu di sana, ia boleh memilih tempat dan menempati tanah tersebut.

Ya, sistem itu memang pada akhirnya menjadikan beberapa orang menjadi tuan tanah di tanah yang sebenarnya tak bertuan itu. Tapi, selama mengunjungi tempat itu, saya belum pernah mendengar ada warga saling bertengkar karena persoalan tanah yang mereka tempati bersama-sama. Saya kira selama tidak adanya ketamakan di antara warga persoalan-persoalan seperti itu tidak akan muncul.

Perkampungan ini memang tidak sebegitu terkenal seperti perkampungan nelayan di Marunda. Itu karena "promosi" hanya dilakukan dari mulut ke mulut saja. Namun demikian, banyak juga orang yang bukan dari kampung tersebut datang ke sana. Mereka datang untuk memancing. Bahkan, kebanyakan mereka yang datang adalah orang-orang kaya. Itu terlihat dari mobil-mobil yang mereka gunakan. Tidak sedikit juga dari mereka datang dengan mengajak keluarga hanya untuk sekadar menikmati ikan-ikan segar. Beberapa kapal boat milik orang-orang kaya juga tersandar di sana.

Banyak cerita yang saya dengar dari warga nelayan saat saya datang ke sana. Mulai dari cerita mengenai suka duka mereka menjadi nelayan yang menggantungkan nasibnya dari melihat kondisi angin, hingga bercerita tentang "kebutuhan biologis" mereka (terutama kaum pria), yang bilamana sedang memuncak mereka tak segan mengajak pasangannya untuk segera melampiaskannya di perahu. Tak peduli apakah saat itu perahu sedang berada di tengah laut atau ombak kencang tengah menggoyang-goyangkan kapal mereka.

Tapi dari semua cerita yang pernah saya dengar, ada satu cerita yang menarik perhatian saya. Cerita mengenai awal mula berdirinya perkampungan nelayan. Dari Pak Tohir, salah seorang sesepuh berumur 80'an tahun di kampung itu, saya dapatkan cerita tersebut.

Kampung nelayan, menurut cerita Pak Tohir, dulunya adalah lautan, bukan daratan seperti sekarang ini. Lalu, saat banyak orang mulai berdatangan dan membangun rumah-rumah panggung di sana, air laut mulai surut dan pasir laut semakin menyembul ke permukaan hingga akhirnya membentuk sebuah daratan baru. Dia sendiri mendapatkan cerita itu saat masih kecil dari orangtuanya.

"Kampung ini pernah sempat ditinggal pergi sementara sama kita (warga), eh, air lautnya balik lagi. Sempat jadi laut lagi," katanya yang selain melaut juga membuka usaha warung kelontong. "Setelah kita balik lagi ke sini, air laut surut lagi. Tanahnya timbul. Ya, jadinya seperti sekarang ini. Mungkin ini sudah jodohnya kali." Saat ia bercerita, sudah beberapa hari air laut sedang pasang, menjorok hingga ke depan pintu rumah Bu Mar, seorang wanita tua tanpa keluarga yang tinggal hanya berjarak 15 meter dari bibir pantai.

Ombak pun sangat kencang hingga para nelayan juga tidak berani melaut. "Anginnya besar," kata seorang warga nelayan yang mestinya hari itu pergi melaut.

Meski sudah puluhan tahun "hidup" di Jakarta, perkampungan ini tidak pernah diakui dalam daftar Kelurahan setempat. Kasarnya, wilayah berikut warga yang tinggal kampung tersebut ini tidak pernah "ada" dalam data wilayah dan penduduk Jakarta. Organisasi RT pun mereka yang bentuk sendiri dan tidak pernah diakui kepengurusannya oleh Kelurahan. Tetapi, setiap bulan tanpa malu petugas Kelurahan rajin datang ke kampung tersebut untuk mengutip iuran warga sebagai penduduk DKI Jakarta.

Bahkan, menjelang pemilu para pengurus Parpol juga aktif mendatangi mereka. Memberikan mereka bendera partai untuk dipasang di perahu masing-masing. Mereka sih senang saja, "Lumayan lah Hut buat nambah hiasan di perahu," kata seorang nelayan kepada saya waktu itu sambil tertawa kecil.

Siang hari di bulan Oktober 2001, benteng perlindungan warga akhirnya runtuh. Rumah yang telah mereka huni selama puluhan tahun itu digusur. Mereka diusir dari rumah milik mereka sendiri yang mereka banggakan.

Segala upaya sudah dilakukan. Mulai dari melakukan perlawanan karena aparat bersikap represif, bantuan hukum dari LBH Jakarta dan dukungan dari puluhan organisasi masyarakat Jaringan Anti Penggusuran. Bahkan, tak tanggung-tanggung sejumlah anggota DPR RI juga didatangkan langsung ke lokasi saat hari kiamat itu tiba. Surat "sakti" dari Senayan yang diperlihatkan ke Kepala Dinas Trantib dan Kapolres Jakarta Utara saat itu tak mampu menghentikan langkah Backhoe menghancurkan rumah-rumah warga dan sebuah mushola yang terletak di tengah kampung.

Kini, perkampungan itu telah bersalin rupa. Sebuah gedung besar berdiri tegak dan angkuh di sana. Keceriaan anak-anak nelayan bermain air dan pasir di bibir pantai, sendau gurau para Ibu dan obrolan santai Bapak-bapak di warung kopi kini tak dapat lagi dilihat dan terdengar. Semua itu kini berganti dengan canda tawa para konglomerat dan suara menderu dari mesin Jet Ski. Ya, kini tempat itu telah berubah menjadi tempat yang sunyi, tertutup dan menyeramkan.

Besok, enam puluh tiga tahun sudah usia Republik ini. Republik yang pernah menjanjikan kepada rakyatnya rumah untuk ditinggali, tanah untuk dihidupi dan kekayaan alam untuk dinikmati. Namun semua itu hanya ilusi. Ilusi kemerdekaan. Rumah yang hanya berbilik bambu, beralaskan tanah dan tanpa pagar itu ternyata bukan lagi milik kita. Segelintir orang yang menguasai Republik ini telah merampasnya. Selamat ulang tahun Republik Indonesia!!!

01 Agustus 2008

Digambar Karikatur


Pagi hampir siang, sekitar jam 10, aku berkumpul dengan kawan-kawan sewaktu di SMA. Kami janji bertemu di McDonalds. Arindo, seorang kawan, sejak semalam sudah memberitahukan rencana pertemuan ini kepadaku melalui SMS.

Siang tadi, kami berkumpul untuk memastikan rencana bermain sepakbola futsal esok hari. Rencana itu diusulkan Lito saat kami berkumpul di pesta pernikahan Citra, teman kami di SMA, beberapa waktu lalu.

Aku tiba paling akhir: sekitar jam 11. Di sana, sudah kumpul Arindo, Lito, Tennov, Donal dan Christian. Sebelum bercakap-cakap, aku terlebih dahulu memesan minuman. Satu gelas coca-cola ukuran kecil. 5 ribu perak harganya.

Setelah tiba di tempat duduk, mereka lalu bertanya kepadaku, apakah besok pagi, hari Sabtu, aku bisa ikut bermain futsal.

Semalam, aku memang belum memberikan kepastian apakah aku ikut atau tidak ikut bermain futsal, karena besok siang aku ingin mengambil hasil editing video acara kematian Tulang Udut (tulang berarti paman dalam bahasa Indonesia), yang meninggal dunia hari Sabtu pekan lalu. Sedangkan sorenya, aku berencana datang ke acara pernikahan Dani, kawan aktivis LS-ADI, kini ketua Koalisi Anti Utang.

Sekitar sejam kami berada di McDonalds. Tak terasa, matahari sudah tepat berada di atas kepala kami. Keputusan juga sudah ada. Besok, jam sembilan pagi kami main futsal. Tennov kemudian mengajak makan siang. Tetapi tidak di McDonalds, melainkan di Warteg alias Warung Tegal.

"Lapar nih. Yuk, kita makan siang. Di warteg aja. Murah meriah," ujarnya.

"Dimana the warteg yang enak dekat sini," tanyanya kepadaku karena aku pernah bersekolah di daerah sana. Oh ya, kawan-kawan SMA memanggilku uthe. Nama panggilan itu memang diberikan saat di SMA oleh Malvina. Katanya, nama asliku beda-beda tipis dengan nama panggilan penyanyi Ruth Sahanaya, yang juga dipanggil uthe.

Akhirnya, kami pun pergi meninggalkan "Paman Ronald" menuju "Bu'de Sartiyem". Sebuah hal yang cukup kontras pikirku. Tapi tak masalah. Lebih murah makan di Warteg ketimbang di McDonalds. Warteg lebih variatif dan sehat, menurutku. Lagipula, perut kami ini perut kampung, lidah kami, ya, lidah ndeso.

"Tempat ini strategis untuk bertemu. Soalnya dekat dan biar gampang booking ke tempat futsal," ujar Arindo yang memilih McDonalds sebagai titik temu, beralasan. Letaknya sendiri memang strategis: berada di perempatan lampu merah.

Sebelum menuju Warteg, kami mampir sebentar di rumah Tigor, teman kami juga di SMA. Bersama dia, kami lalu "menyerbu" Warteg. Usai makan, kami pun langsung kembali "mengepung" rumah makan lain. Bukan untuk makan lagi tapi untuk membeli jus. Siang tadi panas sekali.

Tigor lalu mengajak kami ke berkunjung "rumah" keduanya. Letaknya tidak jauh dari rumah orang tuanya. Sekitar 50 meter. Rumah ini khusus ia sewa untuk ia jadikan tempat berkarya. Menghasilkan karya lukisan-lukisannya.

Tigor, salah seorang kawan kami ini, alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Cita-citanya sejak awal memang menjadi seorang pelukis. Ia memiliki talenta melukis yang sangat kuat. Dulu, saat di kelas ia rajin sekali melukis. Apa saja ia lukis. Dan, gambar-gambarnya sangat bagus. Tapi, dia bukanlah seorang pelukis muda "biasa". Dia seorang pelukis tuna wicara dan tuna rungu.

Rumah tersebut tidak begitu luas dan lebar, namun terasa teduh. Terbagi tiga ruangan. Di ruang depan tergeletak sebuah tempat tidur kecil dan lemari plastik. Ruang tengah ia gunakan untuk menaruh "alat-alat tempur", berikut hasil karyanya. Lalu, di ruang belakang dapur dan kamar mandi.

"Satu juta per bulan," katanya menyebut harga sewa rumah sepetak itu.

Togor, begitu biasa kusapa, lalu bercerita dan memperlihatkan kepada kami beberapa lukisan yang masih tergeletak terbungkus kertas coklat di "bengkelnya" itu. Saya sempat bertanya, kenapa lukisan-lukisan ini tidak ia jual saja ke kurator atau toko lukisan.

"Saya pernah tanya ke toko berapa harga lukisan ini. Dia hanya menawarnya 100 ribu," katanya sembari menunjukkan lukisan bergambar kembang dengan beberapa goresan warna.

Ah, yang benar saja abang toko itu hanya "menghargai" lukisan kawan saya ini hanya dengan selembar seratus ribu. Seingatku saja, beberapa tahun lalu saat ia masih kuliah sebuah lukisan karyanya pernah dibeli oleh seorang kurator seharga 500 ribu Rupiah.

Lukisan yang menggambarkan pemandangan gunung dan arwah-arwah manusia itu ia beri judul: Menunggu Awan Harapan. Aku sendiri belum memahami apa maksud dan makna di balik lukisan tersebut (menggabungkan pemandangan dan arwah dalam satu lukisan).

Melihat hasil-hasil karyanya, aku pun terdorong memintanya untuk melukis kami satu per satu. Dia sempat menolak. Alasannya capek. Mungkin karena " proyek" gratisan, he..he.. Namun, setelah kami sedikit "memaksanya" akhirnya ia mau melukis kami. Lukisan karikatur.

Satu per satu secara bergantian kami pun langsung pasang aksi, pasang gaya. Tigor cekatan menorehkan tinta di sebuah kertas putih. Tidak di atas kanvas. Christian pertama kali digambar. Lalu, Tennov pasang aksi, pasang gaya, mengikuti pose terkenal dari pemain sepak bola David Beckham.

Selanjutnya, secara berurutan aku sendiri, Donald, Arindo dan terakhir Lito. Sebagian dari kami cukup puas dengan lukisan karikatur tersebut, sebagian lainnya tidak. Ya, namanya juga gratisan.

Kemudian, setelah gambar karikatur itu selesai dibuat satu per satu dari kami membubuhkan tandatangan di bawah gambar karikatur kami masing-masing. Tennov berencana membawa pulang gambar karikatur itu. "Untuk di pajang di kamar gue," katanya sambil melipat kertas itu. Tapi, kata Tigor tidak usah dibawa, "Biar dipigura."